Saya pernah
mengingat nasehat papa, “Jika engkau merencanakan hidup untuk satu dua hari ke depan,
tanamlah toge. Jika engkau merencanakan hidupmu untuk dua tiga bulan ke depan,
tanamlah jagung. Jika engkau merencanakan hidupmu tiga atau empat tahun ke
depan, tanamlah mangga. Jika engkau merencanakan hidupmu puluhan tahun ke
depan, tanamlah pohon jati. Dan jika engkau menginginkan hidupmu kekal dan
bahagia, tanamlah kebajikan! Namun, jika engkau tidak menanam apa-apa, jangan
mengharapkan menuai kebajikan! Pay now, play later or play now pay later!”
Kenyataan
kehidupan yang kita alami dan terima hari ini adalah akibat serentetan apa yang
kita lakukan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Demikian pula apa yang akan kita
tuai di masa mendatang adalah buah dari apa yang ditabur hari ini. Setiap orang
beragama paham betul bahwa apa yang dilakukan hari ini membawa konsekwensi
penghakiman di masa kemudian. Bagi umat Kristiani, umumnya hari penghakiman itu
terjadi mana kala Yesus datang kembali. Kedatangan-Nya kembali seringkali
disalah mengerti, yakni untuk misi penyelamatan lagi. Padahal setiap kebaktian
Minggu kita mengucapkan pengakuan iman yang antara lain isinya, “….dan akan datang dari sana untuk menghakimi
orang yang hidup dan yang mati!”
Keyakinan
akan hari penghakiman atau Hari Tuhan membuat banyak orang untuk mengambil
sikap. Beberapa sikap atau respon diperlihatkan pada bacaan kita hari ini.
Respon pertama diperlihatkan oleh bangsa Israel pada jaman Amos. Umumnya mereka
berpikir bahwa ritual ibadah yang mereka lakukan akan menjadi jaminan bahwa
Tuhan akan berpihak kepada mereka pada saatnya. Hari Tuhan akan mengangkat
derajat mereka. Mereka berpikir bahwa Tuhan sama seperti manusia yang suka disuap.
Ibadah dan persembahan yang mereka berikan kepada Tuhan adalah kesempatan untuk
menyuap Tuhan. Celakanya orang-orang yang menganggap diri sebagai nabi
mendukung tindakan seperti ini. Apakah Tuhan menerima? Jelas tidak! Tuhan
membenci bahkan menghinakan ibadah dan persembahan seperti itu! (Amos 5:21-23).
Tuhan
menolak ibadah yang bersolek kemunafikan. Mereka beribadah dan mempersembahkan
korban-korban namun mereka menindas dan menyengsarakan orang miskin. Mereka
menjual orang benar karena uang, menginjak-injak orang lemah ke dalam debu,
membelokkan jalan orang sengsara, anak dan ayah menjamah seorang perempuan
muda, mereka mabuk dengan anggur orang-orang yang kena denda di samping mezbah
Tuhan (Amos 2:6-8).
Bukankah
cara ibadah seperti ini di sepanjang jaman tetap ada? Orang bisa memberikan
persembahan dengan jumlah yang banyak. Namun, apakah uang itu merupakan hasil
jeri lelahnya dan dilakukan dengan pengucapan syukur? Ataukah uang itu hasil
dari pekerjaan yang tidak karuan dan dengan motivasi mirip-mirip money laundering serta
mengharapkan Tuhan memberikan lebih banyak lagi? Untuk orang-orang seperti
jaman Amos ini, bukan kebajikan yang akan dituai, Amos mengatakannya, “Celakalah mereka yang
menginginkan hari TUHAN! Apakah gunanya hari TUHAN itu bagimu? Hari itu
kegelapan, bukan terang! (Amos 5:18).
Respon
kelompok yang kedua diwakili oleh jemaat Tesalonika (1 Tesalonika 4:13-18),
yang memandang dan menantikan hari Tuhan dengan sikap yang berlebihan. Mereka
sangat menantikan hari itu. Akibatnya mereka tidak terlalu memedulikan
kehidupan masa kini. Mereka juga menjadi kuatir terhadap saudara-saudara mereka
yang telah meninggal saat menyambut kedatangan Yesus kembali. Ada banyak tipe
orang seperti Jemaat Tesalonika, memandang kehidupan ritual ibadah dan
kesalehan pribadi adalah segalanya. Banyak cerita kesaksian menggambarkan hal
itu. Seseorang meninggalkan tugas dan tanggungjawabnya baik dalam pekerjaan
maupun rumah tangga hanya untuk menantikan atau menyongsong kedatangan Tuhan di
angkasa yang akan mengangkatnya dalam kemuliaan.
Sementara
itu kelompok yang ketiga adalah orang-orang yang tidak serius mempersiapkan dan
menyambut hari penghakiman itu. Kelompok ini digambarkan dengan lima gadis
bodoh, yang tidak mempersiapkan minyak bagi pelitanya saat menantikan
kedatangan mempelai (Matius 5:1-13). Perumpamaan ini menegaskan bahwa setiap
orang harus senantiasa berjaga-jaga mengantisipasi hari Tuhan itu. Sebab tak
seorang pun tahu bilamana peristiwa itu terjadi. Kenyataannya banyak orang
masuk dalam kelompok ini. Tidak terlalu peduli dengan “hari esok”, yang penting
sekarang. Mumpung sekarang bisa dan ada kesempatan lakukanlah sesukamu, urusan
hari esok gimana nanti! Prinsip hidup orang-orang seperti ini adalah kumaha engke (gimana nanti),
bukan engkena kumaha (nantinya
gimana).
Sikap
yang terakhir adalah apa yang diperlihatkan oleh lima gadis yang disebut
bijaksana. Mereka mempersiapkan minyak sebagai bekal agar pelitanya terus
menyala. Mereka mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, serta berjaga-jaga
dalam keadaan apa pun. Berjaga seperti apa? Jelaslah kalau membaca Amos, orang
yang menantikan kedatangan Tuhan dengan benar adalah orang yang mampu melakukan
ritual keagamaan dengan menjadikannya bukan sekedar bentuk kesalehan pribadi
yang mengundang decak kagum orang yang melihatnya, melainkan yang mampu
menghadirkan kemasylahatan bagi banyak orang. “Tetapi biarlah keadilan
bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu
mengalir.” (Amos 5:24). Jadi jangan
tunggu besok. Berjaga-jagalah sekarang karena waktu tidak bisa kompromi dan
tidak bisa diulang!
sumber: gkimabes.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar