Banyak orang membayangkan lautan biru dengan air hangat sebagai sebuah gambaran laut yang ideal.
Dan menurut ilmuwan kelautan, gambaran laut yang hangat itu akan mudah kita jumpai dalam 100 tahun mendatang.
Tetapi itu jelas bukan berarti berita baik untuk lingkungan karena lautan biru itu muncul disebabkan pemanasan global yang membuat laut menjadi terlalu panas bagi ikan, atau terlalu beracun untuk hewan laut.
Lautan yang makin panas itu juga mungkin sudah tidak mampu lagi untuk menyerap Karbon Dioksida, CO2, dari atmosfir bumi.
Selama ini lautan menyerap lebih dari separuh panas yang dipancarkan matahari dan kemudian membaginya ke seluruh permukaan bumi.
Dan menurut Dr. John Shepherd dari Lembaga Oseanografi Inggris di Southampton, lautan juga ikut memperlambat dan mengurangi ancaman perubahan suhu.
"Lautan meringankan dampak perubahan iklim dengan menyerap Karbon Dioksida dan karenanya mengurangi jumlahnya yang ada di atmosfir bumi," kata Dr. John.
Dia menambahkan lautan bisa dianalogikan sebagai bemper terhadap perubahan iklim dunia.
Sabuk laut
Namun belakangan ini ada kekuatiran kalau laut saat ini semakin tidak mampu mendistribusikan panas ke seluruh penjuru bumi.
Dibawah permukaan air, ada gelombang atau mungkin lebih tepat disebut aliran arus laut, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai Sabuk Laut.
Fungsi sabuk laut ini adalah mendorong air laut, yang sudah dipanaskan oleh matahari di wilayah tropik, ke daerah yang lebih dingin di kutub.
Proses sebaliknya juga terjadi, yaitu air dingin di Artik dan Antartika dibawa ke daerah tropik untuk dipanaskan.
Stuart Cunningham, seorang pakar khusus persoalan arus laut dari Inggris, mengatakan bahwa proses itu amat penting untuk Lautan Atlantik.
"Di wilayah utara Atlantik ada Laut Artik, sehingga arus air hangat bisa bergerak hingga jauh sekali ke ujung kutub. Itulah sebabnya iklim Eropa relatif tidak terlalu dingin," tuturnya.
Arus Atlantik Utara lebih dikenal dengan sebutan arus Teluk, dan yang dikuatirkan para ilmuwan adalah pemanasan global akan memperlambat arus itu.
Pernah terjadi
Yang lebih dikuatirkan lagi adalah jika pemanasan global akan menghilangkan sama sekali arus perpindahan air tersebut.
"Kita semua tahu bahwa bumi sedang memanas dan di belahan bumi Utara pemanasan lebih tinggi dibanding yang lainnya. Kita sudah melihat sendiri pencairan es di Artik dan lapisan es di Pulau Greenland," kata Stuart Cunningham.
Pemanasan itu akan membuat jumlah air tawar di Laut Utara semakin banyak dan karena air tawar lebih ringan dari air laut, maka letaknya berada di permukaan air laut.
"Keberadaan air tawar ini mencegah air hangat yang sampai di daerah kutub terserap panasnya oleh atmosfir agar menjadi dingin untuk turun ke dasar laut. Karenanya proses sabuk arus lautan tidak lagi berfungsi," tutur Stuart Cunningham.
Tidak berfungsinnya sabuk arus laut ini membahayakan kehidupan biota laut karena itu berarti tidak akan ada lagi pergerakan.
Sebenarnya berhentinya sabuk arus lautan ini pernah terjadi selama 1000 tahun, dan membuat Eropa kembali ke jaman es, yaitu di abad ke 14.
Waktu itu kawasan Eropa seperti menjadi sebuah benua es mini, dan penyebabnya adalah gejala alami, antara lain badai angin yang keras.
Terumbu karang terancam
Selain itu masih ada kekuatiran lainnya, yaitu peningkatan keasaman laut, dan terumbu
karang adalah yang paling rentan menghadapi peningkatan ini.
Menurut Dr. Nerilie Abrahams dari Universitas Nasional Australia, terumbu karang seperti sedang mencatat kematiannya sendiri.
"Kami tahu bahwa jumlah Karbon Dioksida yang dipompakan ke atmosfir sebetulnya mengubah keasaman laut, dan membuatnya lebih asam lagi. Bahayanya adalah tentu saja seluruh terumbu karang akan hancur dan larut karena asam tadi."
Persoalan perubahan suhu maupun berbagai perubahan lain yang dialami lautan sebetulnya bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Di masa lalu hal ini sudah berulangkali terjadi, namun perbedaannya adalah saat ini perubahan suhu tersebut dipicu oleh campur tangan manusia, jadi bukan karena sebab alami.
Dan jika campur tangan manusia itu tidak bisa dikurangi lagi, maka tidak bisa pula dihentikan lagi.
Para ilmuwan memang belum bisa meramalkan secara pasti tentang apa yang akan terjadi di masa depan, namun indikasi awal menunjukkan pengaruhnya adalah negatif.
sumber: BBCIndonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar