MERPATI
Burung merpati atau burung dara merupakan burung yang sangat familiar bagi manusia. Hampir di semua wilayah di dunia ini kita dapat menjumpai burung ini. Beberapa burung merpati hidup dalam kawanan besar. Jantan dan betinanya berbagi tugas membuat sarang, mengerami telur-telurnya, dan memberi makan anak-anaknya.
Burung merpati jantan dan betina berjodoh selama hidupnya, bahkan jika salah satu dari pasangannya mati, kadang-kadang diperlukan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan teman hidup yang baru. Burung ini sudah lama menjadi lambang kesatriaan, cinta, dan kesucian. Burung ini sering muncul dalam puisi dan legenda, baik dalam sastra lama maupun sastra modern, dan bahkan dalam Kitab Suci seringkali kita menjumpai kata merpati, misalnya dalam Kid. 1:15; 2:14; 4:1; 5:12, Yesaya 38:14, Hosea 7:11, dan sebagainya.
Kesetiaan - Tak Ingkar Janji.
Kesetiaan adalah suatu sikap moral dan mental yang kian lama kian mahal serta langka, padahal kesetiaan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam hidup ini. Kesetiaan adalah moral dasar yang mendasari berbagai keutamaan hidup atau nilai-nilai hidup seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, kedamaian, dan sebagainya. Tanpa kesetiaan, nilai-nilai hidup tadi akan mudah goyah, dan dengan demikian akan sulit untuk di raih.
Bagaimana keadilan akan dapat ditegakkan jika kita tidak setia akan keadilan itu sendiri? Kesetiaan juga diperlukan dalam berbagai ranah kehidupan seperti dalam dunia kerja, pilihan hidup, pasangan hidup, dan sebagainya. Hanya dalam dan melalui kesetiaan akan nilai-nilai hidup dan pilihan hidup kita akan memperoleh kebahagiaan yang definitif.
Derasnya arus globalisasi yang menyeret kita pada budaya konsumeris, hedonis, dan materialis semakin menyudutkan nilai-nilai kesetiaan. Kita semakin sulit untuk setia pada nilai-nilai hidup yang hakiki. Kita juga semakin jauh dari kesetiaan akan Allah. Budaya hedonis menyeret kita untuk tidak setia pada nilai kerja dan pelayanan. Konsumerisme dan materialisme juga dapat mengeliminasi kesetiaan kita akan kejujuran dan kesederhanaan hidup.
Tantangan berat dewasa ini yang juga tidak kalah serius adalah ketidaksetiaan kita terhadap pasangan hidup (suami-istri). Maraknya budaya selingkuh di kota-kota besar rupanya juga sudah merembet ke kota-kota kecil. Maraknya budaya kawin cerai di kalangan artis dan selebritis rupanya juga mewarnai kehidupan masyarakat pada umumnya. Budaya poligami juga ikut memudarkan nilai kesetiaan pada pasangan hidup.
Berkurangnya atau menurunnya relasi dan komunikasi antara suami dan istri karena sibuk bekerja juga menumbuhkan rentannya nilai-nilai kesetiaan. Masih banyak lagi faktor pemicu lainnya yang menyebabkan kesetiaan suami istri akan pasangannya semakin menurun.
Kesetiaan terhadap pasangan hidup sungguh sangat mutlak karena hakikat pernikahan adalah tidak dapat diceraikan. Cerai berarti mengingkari janji pernikahan. Janji kasih yang diucapkan dengan sadar dan bebas pada waktu pernikahan telah diberi waktu untuk seumur hidup dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, dalam untung dan malang, tanpa syarat dan tidak dapat dibatalkan (Mat. 19:6, Mark. 10:9, 1 Kor. 7:10-11). Apabila kesetiaan sudah memudar bahkan runtuh sama sekali, yang menjadi korban adalah anak. Anak menjadi korban ketidaksetiaan kedua orangtua mereka.
Kesetiaan akan profesi juga merupakan hal yang sangat penting; tanpa kesetiaan, kita akan jatuh pada kemalasan. Kita dapat melihat bagaimana etos kerja dibanyak instansi pemerintah kita yang terlalu birokratis dan tidak efektif. Hal itu merupakan contoh ketidaksetiaan akan kerja atau tugas. Kita diajak untuk dapat setia, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun karena bila kita tidak setia dalam hal kecil, kita tidak mungkin setia pula dalam hal-hal besar. (Lukas 16:10).
Oleh karena itu, kita harus berusaha keras untuk belajar setia dalam hal apa pun seperti merpati yang selalu setia, tak ingkar janji, dan seperti kesetiaan Allah sendiri karena Allah adalah setia (1 Kor. 1:9, 2 Tes. 3:3); Allah menginginkan kita memiliki kesetiaan (Ams. 19:22).
Berbagi Tugas.
Burung merpati berbagi tugas antar si jantan dan betinanya dalam hal membuat sarang, mengerami telur-telurnya, dan memberi makan anak-anaknya. Inilah contoh yang baik bagi orangtua.
Menjadi suami dan istri atau ayah dan ibu merupakan tugas yang berat, karena dari padanya dituntut memiliki banyak kemampuan berbagai profesi seperti kesabaran seorang guru, ketelatenan seorang perawat, keadilan seorang hakim, keahlian seorang psikolog, dan sebagainya.
Orangtua juga menjadi rekan sekerja Allah dalam meneruskan kehidupan (Kej. 1:28). Oleh karena itu, menjadi orangtua merupakan tugas yang suci nan luhur karena berasal dari Allah sendiri. Mereka juga berkewajiban mendidik anak (asah-asih-asuh) dan ini merupakan tugas yang tidak ringan. Untuk itu, di dalam menjalankan kewajiban tersebut diperlukan kerjasama yang baik antara suami dan istri.
Kewajiban mengatur dan membina keharmonisan rumah tangga merupakan tugas bersama, karena hanya dalam kebersamaan semuanya menjadi lebih ringan dan mudah. Suami atau ayah menjadi kepala keluarga, sedangkan istri atau ibu sebagai hati keluarga. Suami mencari nafkah, sedangkan istri mengelola keuangan keluarga sesuai dengan pendapatan suami, mengusahakan jangan sampai "besar pasak daripada tiang". Pendek kata, suami istri sebagai ayah dan ibu, keduanya harus menjadi partner bagi yang lain. Mereka harus mau berbagi tugas bukan membebankan pada satu pihak saja.
Dalam lingkungan kerja pun demikian, hendaknya kita dapat berbagi tugas dengan yang lain, bekerja sama, kooperatif, dan bukannya menjadi single fighter. Kita sering kali jatuh pada kesombongan, yakni memandang rendah kemampuan orang lain dan terlalu membanggakan diri atau merasa diri kitalah yang paling bisa melakukan tugas itu. Kita begitu jumawa. Oleh karena itu, kita diajak untuk mau berbagi tugas. Justru dalam pembagian tugas ini hakikat manusia sebagai mahluk sosial akan semakin tampak nyata.
Melalui pembagian tugas, pekerjaan yang berat menjadi ringan dan cepet terselesaikan, apalagi dalam zaman yang serba cepat saat ini mustahil untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Disinilah kita diajak untuk menyadari bahwa diri kita membutuhkan orang lain. Melalui "berbagi tugas" kita diajak untuk belajar rendah hati dan mengakui kelemahan serta keterbatasan yang kita miliki. Kita juga diingatkan bahwa kita diberikan talenta yang berbeda-beda oleh Tuhan (Mat. 25:14-30). Untuk itu kita harus saling melengkapi demi kemajuan dan kebaikan bersama. (1 Kor. 12:12-31).
Ketulusan.
"Hendaklah kamu tulus seperti merpati" (Matius 10:16). Zaman ini kiranya makin sulit menemukan orang yng benar-benar tulus. Kebutuhan dan tuntutan hidup yang makin mencekik semakin mengaburkan nilai-nilai ketulusan. Tidak ada sesuatu yang gratis atau cuma-cuma! Inilah gambaran yang tepat untuk situasi saat ini, di mana orang berlomba-lomba mencari kemapanan dan kenikmatan sendiri. Inilah ciri masyarakat modern, di mana segala sesuatunya dihitung untung rugi secara material, maka pola relasinya bersifat ekonomi: "Aku menjalin relasi, jika hal itu menguntungkan diriku."
Nilai ketulusan yang dihidupi oleh masyarakat tradisional atau masyarakat pedesaan rupanya mulai terkikis oleh arus zaman yang serba kompleks saat ini. Tulus membantu dan tulus berkorban rupanya semakin sulit untuk dipraktekkan. "sepi ing pamrih, rame ing gawe" tinggal sebuah semboyan yang usang. Jika ketulusan sudah mulai memudar niscaya rasa peduli dan empati pada sesama yang menderita pun kian kabur.
Kita diajak untuk belajar mempunyai ketulusan kepada sesama, tulus tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun. Di sinilah dituntut dari diri kita sebuah kerelaan dan kebesaran hati untuk mau berbagi. Tentu saja tidak harus menunggu kaya raya atau berlimpah materi terlebih dahulu karena kita juga dapat berbagi dalam hal yang lain, seperti perhatian, kesediaan mendengarkan, dan sebagainya. Justru dengan semakin banyak memberi kita akan semakin diperkaya.
Ketulusan dapat membina iman kita semakin dewasa dari hari kehari, karena melaluinya kita dihantar untuk mudah peka pada sesama atau mudah tergerak oleh belas kasih akan penderitaan orang lain. Jika kita memiliki ketulusan, Allah sendiri akan membalas semuanya ini, karena Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya (Mazmur 73:1).
Punya Tujuan Yang Jelas.
Burung merpati sanggup terbang 95 Km/jam dan dapat mencari jalan kembali ke kandangnya ketika dilepaskan sampai 2000 Km jauhnya. Sebagaimana burung merpati yang selalu pulang ke kandangnya kita juga diajak untuk mempunyai tujuan hidup yang jelas. Sebagai orang beriman tujuan hidup kita adalah kembali kepada Dia, Sang Pemberi Hidup itu sendiri (Mazmur 42:2), seperti halnya Simeon yang mempunyai harapan dan penantian akan datangnya Sang Juruselamat. Betapa berbunga-bunga hati Simeon ketika tujuannya itu tercapai, yakni diperkenankan menyaksikan lahirnya Sang Immanuel: "Sekarang Tuhan, biarkanlah hambaMu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai firmanMu sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari padaMu." (Luk 2:29-30).
Ada sebuah kegembiraan tersendiri jika sebuah harapan dan tujuan terwujud. Inilah tujuan hidup orang beriman, yakni mencapai kebersatuan dengan Sang Khaliknya, kemkbali kepada asal muasalnya.
Tujuan hidup aakan membuat hidup kita justru semakin bermakna. Orang yang tidak mempunyai tujuan hidup bagaikan orang yang berjalan dalam kegelapan tanpa membawa obor atau pelita sehingga tidak tahu kemana harus melangkah. Dengan adanya tujuan hidup, arah hidup kita justru akan semakin jelas. Oleh karena itu, kita lebih semangat dalam menjalani dan mengisi hidup ini.
Tujuan hidup memberikan kita energi ekstra. Kita harus memiliki target, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, sehingga dengan tujuan hidup tersebut kita dapat membuat prioritas hidup secara jelas. Dengan demikian, hidup kita jauh lebih tertata, teratur atau terkonsep. Inilah tuntutan manusia modern, yakni manusia yang disiplin, manusia yang mkempunyai visi dan misi yang jelas, manusia yang mempunyai obsesi, impian, cita-cita, dan optimisme.
Perdamaian.
Burung merpati seringkali digunakan sebagai simbol perdamaian karena merpati adalah binatang yang hidup berkelompok atau soliter secara damai. Suasana damai sangat dibutuhkan bagi lancarnya hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hanya dalam suasana damailah kita dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan lebih mudah. Akan tetapi, lain halnya jika keadaan dalam situasi kacau, entah karena bencana alam, konflik horizontal atau perang, kita akan kesulitan dalam mengakses berbagai kebutuhan hidup bahkan yang bersifat mendasar sekalipun. Dalam keadaan kacau bagaimana mungkin kita dapat pergi bekerja, bersekolah, berbelanja, beribadah, berekreasi, dan melakukan sebagainya dengan nyaman? Oleh karena itu, kedamaian atau keadaan damai mutlak diperlukan bagi semua orang, maka hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkannya.
Kitab Suci Perjanjian Lama sering berbicara tentang damai atau shalom yang berarti kesejahteraan pribadi dan masyarakat. Kondisi ini merupakan berkat Allah bagi seseorang dan keluarganya. Apabila damai tidak ada, makia muncullah persoalan dan derita bagi orang-orang benar (Ayub 3). Shalom juga mengandung makna "Tuhan sertamu" (Hakim-Hakim 6:12, Mazmur 129:7-8). Damai ini berupa terciptanya suasana aman dan berada dalam rumah Tuhan (2 Sam. 7:11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar