Udara Jakarta sangat panas. Sabtu siang itu aku pulang dari kantor dan memakai payung untuk melindungi kepalaku dari matahari yang menyengat. Di jalan di dekat rumah, seseorang yang sedang berjalan di belakangku memanggil: "Ci, Ci!" Aku menoleh. Seorang perempuan gemuk dengan wajah kuyu dan letih memanggilku. Rasanya aku pernah melihatnya. "Enci masih ingat pada saya? Saya ini Ani (bukan nama sebenarnya). Dulu Enci pernah memperkenalkan saya sama bos di kantor Enci waktu saya sedang mencari pekerjaan!" katanya bertubi-tubi. "Ya, saya ingat. Bagaimana kabarmu, Ani?" tanyaku. "Sekarang saya sudah menikah dan mempunyai dua anak. Saya sedang dalam kesulitan!" demikian kata Ani. "Lebih baik bicara di rumah saya saja!" kataku, lalu mengajak Ani ke rumahku. Betapa cepatnya waktu berlalu. Betapa cepatnya manusia berubah. Terakhir aku bertemu dengannya ia sudah mendapat pekerjaan di sebuah kantor. Waktu itu ia memakai blazer dan make up wajah yang rapi. Wajahnya pun berseri-seri. Sekarang ia begitu hitam dan lusuh. Di rumah kuberikan ia minum. Lalu aku mendengarkan ceritanya. Ia sudah berhenti bekerja karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ia tinggal di rumah kontrakan di Bekasi dengan suami dan kedua anaknya yang masih kecil. Suaminya juga menganggur. Dulu mereka ke gereja, sekarang tidak lagi.
Tadi ia baru ke rumah familinya untuk minta bantuan, tapi tidak berhasil. Mendengar kisah sedihnya, diam-diam aku berdoa untuknya. Kemudian aku menasihatinya agar sabar dan jangan menjauhi Tuhan.
Pertolongan Tuhan selalu tersedia untuk anak-anak-Nya. Juga kuberikan uang semampuku untuk biaya transport pulang ke rumahnya dan sekedar untuk membeli sedikit makanan. Lalu bersama-sama kami berdoa. Aku berdoa agar Tuhan mengirimkan pertolongan, memberikan pekerjaan untuk dia dan suaminya, memberinya harapan. Aku berjanji akan mendoakannya setiap hari. Kemudian ia mengucapkan terima kasih dan berjalan pulang. Setiap hari aku mendoakannya dengan sungguh-sungguh.
Dua minggu kemudian ia menelponku. Dengan suara gembira iamengucapkan terima kasih dan berkata bahwa ia sudah mendapat pekerjaan. Aku sungguh mengucap syukur pada Allah yang sudah mendengar doaku.
Namun, ada kata-katanya yang membuat aku tertegun. Kata-kata itu berbunyi: "Ci, pada waktu ketemu Enci, sebetulnya saya sudah pada titik putus asa. Saya sudah berpikir untuk bunuh diri. Tapi, setelah didoakan dan bercakap-cakap, saya merasa Tuhan masih mengasihi saya dan saya tidak boleh bunuh diri."
Tak terasa air mata saya mengalir. Saya ini bukan apa-apa, hanya seorang ibu yang sederhana, namun Tuhan mau memakai saya untuk memberi harapan pada anak-Nya. Dua minggu kemudian Ani menelpon lagi.
Katanya suaminya juga mendapat pekerjaan dan mereka mulai datang lagi ke gereja. Dia mengatakan bahwa ia dan keluarganya bertekad akan setia kepada Tuhan Yesus. Pertolongan Tuhan sungguh luar biasa.
Teringat aku akan firman Tuhan dalam Yesaya 50:4 "Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid."
Kita tidak tahu apa yang terjadi esok. Namun dengan segala kelemahan dan keterbatasan kita, setiap hari kita bisa melaksanakan firman Tuhan tersebut, yaitu memberi semamgat baru pada yang letih lesu. Kita bisa menjadi berkat pada setiap orang yang kita jumpai dengan segala keberadaan kita.
Apa yang akan terjadi besok kita tidak tahu. Namun, hari ini Tuhan memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi terang-Nya di dunia yang kacau balau ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar