Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik mendorong terjadinya
resistensi bakteri terhadap antibiotik di dunia. Masalah ini menimbulkan
ancaman pandemi.
Hal itu mengemuka dalam seminar Antimicrobial Resistance-Containment
and Prevention di Jakarta, Kamis (7/4), dalam rangka peringatan Hari Kesehatan
Sedunia. Dalam kesempatan yang sama diluncurkan Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik oleh Kementerian Kesehatan.
Kepala Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia
Khanchit Limpakarnjanarat menyatakan, di dunia lebih dari 50 persen antibiotik
tidak layak diresepkan dan sekitar 50 persen pasien tidak mengonsumsi obat
secara tepat. Akibatnya, terjadi resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Dia mencontohkan, di dunia ada sekitar 180.000 kasus tuberkulosis
resisten obat (MDR-TB) per tahun. Selain itu, ada kuman penyebab kolera yang
resisten terhadap kotrimoksazol dan tetrasiklin. Di Thailand, 69 persen
Streptococcus pneumoniae penyebab infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
resisten terhadap penisilin.
”Resistensi obat dapat mengakibatkan ledakan kasus dan ancaman
pandemi. Kuman yang resisten menyebar melintasi batas-batas negara,” kata dia.
Di Indonesia, kesadaran akan penggunaan antibiotik secara rasional
minim. Guru Besar Farmakologi dari Universitas Gadjah Mada Iwan Dwiprahasto
mengatakan, penggunaan antibiotik tidak rasional dalam kasus ISPA mencapai 94
persen dan diare 87 persen. Sebaliknya, untuk penyakit yang membutuhkan
antibiotik justru hanya 20 persen yang mendapatkan antibiotik.
Data tersebut hasil riset yang diselenggarakan di lima provinsi,
yakni Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan
Kalimantan Barat oleh Universitas Gadjah Mada tahun 2004. Iwan menduga, sampai
kini tidak banyak perubahan. Hasil penelitian lain yang dilakukan di 56
puskesmas di 3 distrik di Aceh tahun 2010 menunjukkan, 60 persen anak yang
tidak membutuhkan diresepkan antibiotik.
Menurut Iwan, ada penggunaan antibiotik lewat pakan untuk unggas sekitar
20-25 persen. Antibiotik itu tersisa dalam telur dan daging sehingga manusia
tanpa sadar mengonsumsi.
Untuk mencegah pandemi, Menteri Kesehatan Endang Rahayu
Sedyaningsih mengimbau kerja sama berbagai pihak mulai pengelola fasilitas
kesehatan, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Dokter diharapkan rasional
dalam meresepkan obat. ”Kalau ada dokter yang melanggar pedoman pemberian
antibiotik atau obat keras lain akan diberikan sanksi mulai dari peringatan,
sanksi administrasi, hingga pembekuan izin praktik,” kata Endang. Apotek juga
diminta tidak sembarangan memberikan antibiotik.(INE)
sumber:kompashealth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar