Cacing Pita Di Sungai Mekong Menularkan Kanker



Infeksi cacing parasit biasanya hanya membuat korbannya kurang gizi karena bisa mencuri nutrisi dari makanan yang dikonsumsi. Namun sejenis cacing pita di Thailand meresahkan warga setempat karena bisa memicu kanker di saluran empedu.


Cacing tersebut ditemukan di sepanjang Sungai Mekong yang mengalir di wilayah Thailand timur laut, melewati Vietnam, Laos, Kamboja, Korea dan China. Diduga cacing tersebut menginfeksi warga yang mengonsumsi ikan tanpa dimasak dengan matang.

Organisasi kesehatan dunia atau WHO memperkirakan 9 juta warga di sepanjang Sungai Mekong telah terinfeksi, sementara 67 juta lainnya terancam nasib yang sama. Jika tak segera diobati, warga yang terinfeksi akan mengalami kanker empedu ataucholangiocarcinoma beberapa tahun kemudian.

Pada orang yang terinfeksi cacing ini, kanker empedu akan berkembang ketika memasuki umur 40-50 tahun. Oleh karena itu, dinas kesehatan di beberapa wilayah tersebut menganjurkan warga mulai melakukan pemeriksaan tinja sejak memasuki umur 30 tahun.

"Warga yang berumur 30 harus periksa tinja, sedangkan yang berumur 40 tahun harus memeriksakan gejala kanker dengan ultrasonik," ungkap Pongsadhorn Pokpermdee dari dinas kesehatan Provinsi Nongbualanpoo, Thailand seperti dikutip dari Reuters, Jumat (1/7/2011).

Jika positif ditemukan ada tumor di saluran empedu, maka warga yang bersangkutan harus langsung dioperasi. Sementara jika belum ada kanker, cacing pita di dalam tubuhnya harus diusir dengan obat cacing yang diberikan gratis yakni Praziquantel.

Dibandingkan pada wanita, cacing ini lebih banyak menginfeksi warga berjenis kelamin pria dengan perbandingan 3:1. Waktu yang dibutuhkan sejak terinfeksi terjadi hingga munculnya kanker relatif lama yakni 10-20 tahun, namun seringkali tidak didahului gejala awal.

Warga di sepanjang Sungai Mekong, khususnya di Thailand gemar mengonsumsi makanan berbahan ikan mentah atau setengah matang yang dinamakan Koi-pla. Makanan khas Thailand ini juga populer di wilayah lain di Asia termasuk Hong Kong dan Singapura.


(up/ir) / detikhealth

Tidak ada komentar: