Kreatif & Unik Tank Dari Kayu


Menakjubkan! Seniman ini membuat Tank dari bahan kayu. Begitu detail dan rumit, namun dapat diselesaikan dengan baik. Tidak jelas apakah tank ini dapat berjalan sebagaimana tank sungguhan. Bisa atau tidak bisa jalan, karya seni ini sungguh sangat menarik dan unik. Tidak semua orang mampu menuangkan ide-idenya menjadi karya nyata dengan bahan yang berbeda, kecuali profesional.


Riwayat Hidup & Pelayanan Thomas Ball Barratt



Thomas Ball Barratt lahir di Albaston, Cornwall, pada 22 Juli 1862. Ayahnya, seorang penambang, berimigrasi ke Norwegia pada 1867. Orang tua Barratt dan kakeknya, Kapten George Ball, adalah pengikut setia aliran Metodis John Wesley.
Ibunya bertobat pada usia 18 tahun, setelah berdoa selama 2 jam, dan yakin bahwa dia sudah diselamatkan. Ayahnya diselamatkan saat ia berusia 20 tahun. Keluarganya sangat terkenal di lingkungannya, baik dalam bidang agama maupun politik.
Kedua orang tuanya mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, dan membangun gereja serta mengadakan persekutuan-persekutuan di rumah mereka di Inggris dan Norwegia, setelah mereka pindah ke sana. Mereka pindah karena ayah Thomas Ball ditawari perusahaannya posisi manajer pertambangan di Norwegia.
Barratt merasakan tangan Tuhan menyentuh hidupnya saat dia berusia 9 tahun, tetapi dia tidak menerima Yesus sebagai Juru Selamat hingga berusia 12 tahun. Dia percaya Tuhan turut campur dalam keputusan orang tuanya memilih pindah ke Norwegia daripada ke Spanyol dengan posisi yang sama, karena jika tidak demikian, jalan hidupnya akan jauh berbeda.
Pada usia 11 tahun, dia kembali ke Inggris untuk mengikuti pendidikan formal. Dia juga mengikuti Wesleyan College di Taunton, Sommersetshire. Di Taunton, seorang teman membimbing dia kepada Kristus, dan setahun kemudian, kebangunan rohani terjadi, di mana saat itu kira-kira dua ratus siswa, serta sejumlah penduduk kota, diselamatkan.
Dia kembali ke rumahnya di Norwegia pada 1878, di mana dia belajar seni pada seorang seniman terkenal dan belajar musik pada Edvard Greig. Pada tahun yang sama, dia memulai sekolah minggu di rumahnya untuk orang-orang yang bekerja di pertambangan.
Selain dari orang tuanya, dia juga dipengaruhi oleh khotbah-khotbah John Wesley dan Dwight L. Moody. Saat berusia 17 tahun, dia membaca salah satu khotbah Moody di sebuah persektuan wanita yang diselenggarakan oleh ibunya, dan kemudian berdoa. Banyak orang yang datang dalam persekutuan itu diselamatkan.
Pada usia 18 tahun, Barratt menyiapkan khotbah pertamanya, setelah menghabiskan waktu untuk bermain musik rohani, bersaat teduh, dan berdoa. Catatan di jurnalnya menunjukkan bahwa dia mendaki ke puncak gunung dan mengkhotbahkan khotbah pertamanya itu kepada angin.
Barratt juga aktif berkhotbah tentang keselamatan di pertambangan tempat dia bekerja sebagai asisten ayahnya. Pada tahun yang sama, Barratt membagikan khotbah pertamanya yang tanpa persiapan. Khotbah Moody terus menjadi dasar dari apa yang diajarkannya, tetapi dia tidak memiliki rencana yang pasti untuk menjadi pengkhotbah. Dia berencana untuk menjadi pemusik atau seniman.
Namun, pada tahun 1882, saat dia hampir berusia 20 tahun, Barratt lulus ujian di Methodish Episcopal Quarterly Conference, yang diselenggarakan di Bergen, Norwegia, untuk menjadi seorang "pengkhotbah lokal", sebutan untuk orang awam yang berbicara di depan sekelompok kecil orang dan gereja atau menggantikan pendeta yang benar-benar sudah ditahbiskan.
Pada saat itu, salah satu hiburan baginya adalah menerjemahkan buku- buku bahasa Inggris ke bahasa Norwegia -- dia menuturkan kedua bahasa itu dengan fasih -- dan bertarung dengan beruang. Beruang itu kalah, menurut catatan pada waktu itu! Selain itu, dia juga menulis untuk merespons serangan terhadap aliran Metodis yang ditulis oleh seorang pendeta dari denominasi lain. Di beberapa negara, aliran Methodis pada waktu itu masih sekontroversial aliran Pentakosta pada abad dua puluh.
Pada Januari 1884, dia mengkhotbahkan khotbahnya yang berjudul "Choose Ye This Day Whom Ye Will Serve" (Pilih Sekarang Siapa yang Akan Anda Layani), yang memicu suatu kebangunan rohani yang berlangsung selama berminggu-minggu di gunung tempat mereka tinggal.
Dia menikahi Laura Jakobsen pada Mei 1887, dan mulai menjadi pendeta di sebuah gereja di Christiania, tempat anak pertama mereka lahir. Barrat ditahbiskan sebagai diakon pada 1889, dan pada 1891, dia menjadi penatua di Methodist Episcopal Church, Norwegia. Setelah itu, dia menjadi pendeta di beberapa gereja.
Pada ulang tahunnya yang ke-37, seniman musik yang tidak berencana untuk menjadi pengkhotbah ini telah mengadakan lebih dari lima ribu persekutuan. Pada tahun 1902, dia mendirikan Oslo City Mission, dan pada tahun 1904, dia menjadi editor buletin organisasi ini, yaitu "Byposten". Kedua orang tuanya telah meninggal pada saat itu, tetapi jauh sebelum mereka meninggal, mereka pasti sudah sangat bangga kepadanya.
Barratt mengunjungi Swedia, Switzerland, Inggris, Belanda, dan bahkan India untuk menyampaikan pesan tentang baptisan Roh Kudus. Jadi, Barratt tidak hanya mendirikan gerakan Norwegian Pentecostal, tetapi juga menjadi tokoh kunci dalam pendirian gereja-gereja Pentekosta di seluruh Eropa.
Barratt membawa pengetahuan tentang baptisan Roh Kudus dari Amerika kepada para pengkhotbah terkemuka di Eropa, saat dia bisa saja kembali ke Norwegia dan menguburnya. Ke mana pun dia pergi, dia menanamkan berkat Pentakosta. Secara langsung atau tidak, dia telah menyentuh hidup banyak pionir rohani lainnya. (t/Ratri).

sumber: biokristi.sabda.org

Riwayat Hidup & Pelayanan Martin R. DeHaan



"Apakah Anda sadar bahwa kedatangan Kristus yang kedua dalam Perjanjian Lama lebih banyak disinggung daripada kedatangan pertama-Nya yang dalam keadaan hina? Itu karena tanpa kedatangan-Nya yang kedua, kedatangan yang pertama akan menjadi hampa, gagal, sia-sia, dan tidak sempurna."

Martin R. DeHaan lahir di Zeeland, Michigan, anak dari seorang tukang sepatu yang beremigrasi dari Belanda. Dia lulus dari Hope College di Holland, Michigan dan University of Illinois College of Medicine (Universitas Kedokteran Illinois).
Pada tahun 1914, dia menikah dan segera menjadi seorang dokter yang sukses di Michigan bagian barat.
Saat Dr. DeHaan mendapat panggilan untuk melayani, dia meninggalkan praktik kedokterannya dan menyelesaikan pelatihan di Western Theological Seminary di Holland, Michigan.
Dia menggembalakan dua gereja di Grand Rapids yang bertumbuh pesat karena khotbahnya yang penuh kuasa dan kemampuannya menjelaskan isi Alkitab dengan sederhana dan mudah dimengerti.
Dia mulai menjalankan kelas-kelas Alkitab dalam skala besar. Sebagai hasil pertumbuhan dari salah satu kelasnya di Detroit, Allah mengembangkan kelas Alkitabnya itu menjadi kelas Alkitab lewat media radio pada tahun 1938. Radio Bible Class (RBC) berkembang pesat dan segera disiarkan melalui dua jaringan nasional.
Selama lebih dari seperempat abad, Dr. DeHaan menyaksikkan siaran radio itu berkembang dari stasiun radio lokal berdaya lima puluh watt menjadi sebuah pelayanan yang disiarkan melalui lebih dari enam ratus stasiun radio terpilih di seluruh dunia. Selama masa itu, dia menjadi pembicara di banyak konferensi Alkitab serta menulis 25 buku dan banyak brosur. Dia juga menyunting dan menerbitkan renungan bulanan, Our Daily Bread.
Dr. DeHaan meninggal pada tanggal 13 Desember 1965 karena cidera serius akibat kecelakaan mobil pada bulan Juli. Dia tidak kunjung sembuh dari cidera itu karena komplikasi jantung yang dideritanya. Kekuatannya berangsur-angsur berkurang dan dia meninggal saat sedang beristirahat di rumahnya. (t/Dianpra).


sumber: biokristi.sabda.org

Mulut Palsu Yang Bisa Bicara



Jepang – Mulut ini bukan sungguhan. Tapi bisa bicara seperti mulut manusia.
Profesor Sawada dari Universitas Kawaga, Jepang menciptakan robot mulut yang bisa bicara. Ia mempertunjukan hasil karyanya itu pada ajang Robotech 2011, baru-baru ini.
Robot buatannya tidak hanya menghasilkan suara yang diputar dari hasil rekaman, melainkan juga menciptakan gerak mulut yang alami, mirip mulut manusia.
Robot ini bisa melakukan gerak mulut berdasarkan suaranya, karena dibuat dari organ tiruan yang dibangun di dalamnya. Organ tiruan itu antara lain paru-paru, tenggorokan, serta sistem pita suara tiruan.
Saat ini, robot ciptaannya baru berbentuk mulut saja, jadi agak menyeramkan. Menurut ubergizmo, hasil akhir robot ini adalah figur wajah utuh. Mungkin akan bagus jika robot mulut ini dipadukan dengan robot Showa Hanako 2.


sumber : jelajahunik.blogspot.com

Demi Cinta, Liu Memahat 6000 Lebih Anak Tangga



Liu adalah laki-laki China yang selama lebih dari setengah abad telah memahat 6000 lebih anak tangga yang diperuntukkan bagi istrinya.
Dia bekerja seorang diri untuk membuat "tangga cinta" agar bisa digunakan oleh istrinya untuk turun ke bawah dari daerah gunung tempat mereka tinggal.


Selama lebih dari lima puluh tahun yang lalu, Liu Guojiang, seorang pemuda berusia 19 tahun, jatuh cinta dengan seorang janda yang jauh lebih tua usianya bernama Xu Chaoqin, usianya 29 tahun.
Pada masa itu seorang muda yang jatuh cinta kepada wanita yang usianya lebih tua dianggap tidak bisa diterima dan malahan dianggap immoral.
Untuk menghindari gosip, kedua pasangan itu tinggal di sebuah gua di desa Jiangjin di Selatan ChongQing.
Pada awalnya mereka tidak memiliki apa-apa, tidak ada listrik ataupun makanan.
Mereka harus makan rumput dan akar-akaran yang mereka temukan di hutan, dan Liu membuat lampu kerosene untuk mereka gunakan di tempat mereka tinggal.

Memasuki tahun kedua mereka tinggal di gunung, Liu memulai memahat tangga sehingga istrinya dapat menuruni pegunungan dengan mudah.
Usahanya itu dilakukannya selama lima puluh tahun!
Setengah abad kemudian, di akhir 2001, sebuah kelompok petualang yang mengeksplorasi hutan dan mereka terkejut ketika mereka menemukan kedua pasangan yang sudah tua ini bersama 6000 anak tangga yang dipahat dengan tangan.
"Orang tua saya saling mencintai satu dengan yang lain, dan mereka telah hidup menyendiri selama 50 tahun tanpa pernah terpisah satu hari pun", ujar Liu Ming Sheng, salah seorang dari ketujuh anaknya.
"Dia telah memahat lebih dari 6000 lebih anak tangga selama bertahun-tahun untuk kenyamanan ibuku, sekalipun dia tidak turun gunung sejauh itu."
Pasangan itu telah hidup bersama selama lebih dari 50 tahun sampai Liu yang waktu itu berusia 72 tahun,jatuh ketika kembali dari pekerjaannya di kebun.
Xu duduk dan bedoa bagi suaminya dan akhirnya suaminya meninggal di pangkuannya.
Liu, saking cintanya dengan Xu, tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan genggaman tangannya pada tangan istrinya bahkan setelah dia meninggal dunia.
Engkau berjanji untuk menjagaku, engkau akan selalu bersamaku sampai hari aku mati, kini engkau meninggalkan aku lebih dulu, bagaimana saya bisa hidup tanpamu?
Xu mengulang-ulang ucapannya ini dan menyentuh peti mati suaminya dengan air mata menetes di pipinya.
Tahun 2006, kisah mereka menjadi salah satu dari 10 kisah cinta dari China yang dikoleksi oleh Chinese Women Weekly.
Pemerintah setempat memutuskan untuk menempatkan "Anak Tangga Cinta" itu di museum sehingga kisah cinta mereka tetap dikenang selamanya. ***

sumber:pelita hati

Manusia-Manusia Tertua Pencetak Prestasi Dunia


71 Tahun – Pendaki Mt Everest Tertua


 Manusia tertua – laik-laki – yang pernah mendaki puncak Everest adalah orang Jepang bernama Katsusuke Yanagisawa (lahir 20 Maret 1936), seorang guru, yang memanjat bagian utara dari puncak tertinggi dunia itu bersama tim Himex pada tanggal 22 Mei 2007 dalam usianya ke 71 tahun 63 hari.


100 Tahun – Peterjun Tandem Wanita Tertua 


 Estrid Geertsen, wanita berkebangsaan Denmark (lahir 1 Agustus 1904), membuat rekor terjun tandem pada tanggal 30 September 2004 dari ketinggian 4000 meter di atas kota Roskilde, Denmark, pada usianya yang ke 100 tahun 60 hari.


98 Tahun – Manusia Tertua (Pria) yang Menyelesaikan Lari Maraton


Manusia tertua yang berhasil menyelesaikan lomba lari maraton sejauh 26 mil (42 km) adalah pelari Yunani bernama Dimitrion Yordanidis. Jarak sejauh itu diselesaikannya dalam waktu 7 jam 33 menit pada perlombaan lari maraton di Athena, Yunani pada tanggal 10 Oktober 1976 saat dia berusia 98 tahun.


71 tahun – Ballerina Tertua


Charin Yuthasastrkosol, wanita berkewarganegaraan Amerika yang lahir di Thailand 30 Desember 1930, mulai belajar ballet baru pada usia 47 tahun. Setelah itu dia rutin melakukan pertunjukan ballet dan yang terakhir dilakukannya di depan duta besar Thailand untuk Amerika Sakthip Krairikish di Albuquerque, New Mexico, USA pada tanggal 21 Juli 2002 saat usianya menginjak 71 hari 203 hari.


66 Tahun – Peski Tertua di Dua Kutub


Peski tertua di dunia baik di kutub utara dan selatan adalah laki-laki berkebangsaan Jerman Norbert H. Kern (lahir 26 Juli 1940) yang melakukan olahraga ski di kutub selatan pada tanggal 18 Januari 2007 dan kutub utara tanggal 27 April 2007 saat usianya mencapai 66 tahun 275 hari.


66 Tahun – Perempuan Melahirkan Tertua 



Ibu tertua di dunia adalah Maria del Carmen Bousada Lara, asal Spanyol yang lahir pada tanggal 5 Januari 1940, yang melahirkan bayi melalui operasi caesar pada saat usianya telah mencapai 66 tahun 358 hari. Tidak tanggung-tanggung Nenek ini melahirkan bayi kembar, Christian dan Pau, di rumah sakit Sant Pau, Spanyol pada tanggal 29 Desember 2006. Inilah akibatnya jika kakek lupa pake sarung, hehe.


746 Tahun – Kombinasi Paduan Suara (Koor) Tertua


Kombinasi umur 10 penari dari tur koor kelompok Tivoli Lovelies (Australia), asal Melbourne, Victoria, Australia ini berjumlah 746 tahun 147 hari saat mereka tampil di pada tanggal 12 Oktober 2004.

Manusia Yang Memiliki Ekor


Bukan suatu rekayasa, jika sebagian manusia sebenarnya ada yang memiliki ekor. Toh kejanggalan-kejanggalan ini sering kita jumpai di dunia ini; misalnya kembar siam, manusia yang memiliki jari tangan atau kaki lebih banyak dari normal, wajah yang ditumbuhi bulu lebat, dan lain sebagainya. Kelangkaan seperti ini memang aneh, tapi hanya menimpa sebagian kecil manusia saja.




Menuai Cinta



Sebuah cerita dari Tiongkok.

Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba yang sangat lugu - begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.

Suatu kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana.

"Hutang mereka sudah jatuh tempo," kata sang tuan.

"Baik, Tuan," sahut si bodoh. "Tetapi nanti uangnya mau diapakan?"

"Belikan sesuatu yang aku belum punyai," jawab sang tuan.

Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh menjalankan tugasnya; mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para penduduk kampung.

Para penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau panjang. Akhirnya si bodoh berhasil jua menyelesaikan tugasnya. Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya, "Belikan sesuatu yang belum aku miliki."

"Apa, ya?" tanya si bodoh dalam hati.

"Tuanku sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?"

Setelah berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk.

"Tuanku, memberikan uang ini kepada kalian," katanya.

Para penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.

Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala.

"Benar-benar bodoh," omelnya.

Waktu berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka; pergantian pemimpin karena pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu. Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya. Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan melarat. Dia terlunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta.

Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat; mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.

"Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati menolongku?" tanya sang tuan.

"Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini," jawab si bodoh.

"Tuan berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai. Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu. Satu-satunya hal yang belum tuanku punyai adalah cinta di hati mereka. Maka saya membagikan uang itu kepada mereka atas nama tuan.

Sekarang tuan menuai cinta mereka."

Selalu Indah Pada Waktunya



Oleh Andy F. Noya. 

Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya hadapi. 

Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya. Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya untuk proses operasi tersebut.Soal persetujuan, relatif mudah. 

Sejak awal saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk itu. 

Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus menghidupi keluarga dengan tiga anak. Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. 

Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.

Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. 

Seandainya kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi tidak tertolong lagi. 

Saya menyesali tindakan kakak saya yang "menyembunyikan" penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan -- setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya. Namun ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan dokter untuk biaya operasi. 

Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu? Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat dokter menganjurkan operasi. "Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada jaminan saya akan terus hidup," ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu, saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu. 

Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. "Tuhan, sebagai manusia, akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini." Setelah itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental. 

Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup kuat sehingga masih saja gundah.

Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan terpaksa menelepon saya karena "keadaan darurat". Pembicara yang seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya. 

Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para peserta puas. 

Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara lagi untuk acara-acara mereka yang lain. Sebelum meninggalkan tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat menyelamatkan sahabat saya itu. 

Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya. Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam hari baru saya berani membuka amplop tersebut.

Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis! 

Mata saya berkaca-kaca. TUHAN, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar. Dengan cara-MU, Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib! 

Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan. Tidak cukup sampai di situ. 

Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya. 

Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia tanggung. TUHAN Maha Besar!



Tuhan YESUS mengasihi Anda..


sumber: BLESSING FAMILY CENTRE SURABAYA

Ditolong Oleh Buaya



Pada masa perang dunia II, ada sebuah metode menarik yang diterapkan dalam sebuah kamp pelatihan tentara di Amerika Serikat. Metode yang pertama kali diterapkan di Florida ini disebut dengan “gator aid” atau pertolongan buaya. Materi pelatihan yang diberikan kepada prajurit itu sebenarnya sama saja dengan kebanyakan materi-materi di tempat pelatihan lainnya, di dalamnya termasuk berlari melewati daerah yang penuh rintangan.

Namun yang membedakan adalah pada akhir tes yang tujuannya menguji daya tahan, para prajurit itu harus bergelayut pada seutas tali dan kemudian melintasinya. Tali itu sendiri dipasang diatas sebuah kolam yang lebar namun tidak terlalu dalam.

Di bawah sinar matahari, permukaan kolam sungguh berkilauan, sangat menarik hati sehingga banyak prajurit hanya menyebrang separuh kolam lalu menceburkan diri ke dalamnya dan kemudian berenang sampai ke seberang kolam. Tiba-tiba seorang Letnan yang berani memasukkan seekor buaya besar ke dalamnya. Sejak itu, setiap prajurit yang hendak melompat sudah mengambil ancang-ancang hampir lima meter dari tepi kolam dan melintasi kolam yang lebar itu tanpa mau menceburkan diri ke dalamnya dan akhirnya mereka mendarat di seberang dengan bergulingan.

Demikian pula sifat kita sebagai orang Kristen, terkadang harus dipacu oleh “dorongan” situasi yang tidak kita harapkan. Tanpa koreksi penuh kasih dari Allah dan disiplin yang sungguh-sungguh, daya tahan rohani dan kemampuan kita untuk menanggung segala sesuatu tak akan pernah bertumbuh. Jika Tuhan tidak mengizinkan kita mengalami keadaan sulit, kita akan segera terjebak dalam perasaan puas diri dan terlalu percaya diri.

Saat ini, jika Anda sedang mengalami kepedihan karena keadaan yang menekan, ingatlah perkataan Daud, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu” (Mazmur 119:71).

Tantangan dalam hidup bukanlah untuk menghancurkan kita melainkan mengarahkan kita kepada Allah....amin


Kristus Jawaban

Cerita Seorang Dokter Dari Afrika



Pada suatu malam, saya berusaha keras untuk menolong seorang ibu yang akan melahirkan; namun setelah melakukan segala upaya, ibu itu akhirnya mati dan meninggalkan kami dengan bayi prematur yang baru dilahirkannya dan seorang anak perempuannya yang berusia dua tahun. Kami tahu, akan sangat kesulitan untuk memastikan bayi itu untuk bisa hidup karena kami tidak mempunyai inkubator .

Kami juga tidak mempunyai fasilitas untuk memberi makan bayi prematur. Walaupun kami tinggal di daerah tropis, namun pada malam hari, cuacanya seringkali menjadi sangat dingin yang disertai angin kencang.

Seorang suster mencari sebuah kotak kecil lalu membungkus bayi itu dengan kain wol dan meletakkannya di dalam kotak kecil tersebut. Seorang lagi menyalakan api dan memasukkan air panas ke botol air panas yang terbuat dari bahan karet. Selang beberapa saat kemudian, dia kembali dan dengan suara yang putus asa memberitahu saya bahwa botol air panas yang terbuat dari karet itu telah pecah. (Di iklim tropis, barang buatan karet memang cenderung mengeras).

"Dan itu adalah botol air panas kita yang terakhir" kata suster itu. Tidak ada lagi yang dapat kami lakukan karena tidak ada tempat yang menjual barang-barang demikian di hutan tempat kami tinggal.

"Baiklah," saya berkata, "tempatkan bayi itu di dekat unggun api dan tidur di antara bayi dan pintu agar angin tidak mengenai bayi itu. Tugas Anda adalah untuk memastikan bayi itu hangat sepanjang malam."

Pada keesokan harinya, sama seperti hari-hari lainnya, saya bergabung dengan anak-anak di panti asuhan yang senang untuk berkumpul dan berdoa bersama saya. Saya memberikan beberapa pokok-pokok doa untuk didoakan dan memberitahu mereka tentang bayi prematur yang lahir tadi malam. Saya menjelaskan masalah yang kami hadapi untuk memastikan bayi itu hangat, saya menyinggung tentang botol air panas, dan bahwa jika bayi itu masuk angin, dia bisa meninggal. Saya juga memberitahu mereka bahwa anak perempuan berusia dua tahun itu menangis terus karena ibunya sudah tidak ada lagi.

Saat kami sedang berdoa, seorang anak berusia 10 tahun yang bernama Ruth, memanjatkan doa yang sederhana dan singkat yang menjadi ciri khas anak-anak di Afrika. "Tolonglah Tuhan, kirimlah botol air panas hari ini karena kalau besok tidak ada gunanya, karena bayi itu akan meninggal, jadi kirimlah pada siang hari ini."

Di dalam hati, saya berpikir betapa beraninya dia berdoa demikian. Ruth menyambung dengan berkata, "Tuhan, sekalian saja kirimkan boneka pada anak yang mamanya meninggal supaya dia tahu bahwa Tuhan mengasihi dia."

Sebagaimana lazimnya berdoa dengan anak kecil, saya tidak tahu apakah saya dapat dengan jujur berkata, "Amin"? Karena sejujurnya saya tidak percaya bahwa Tuhan dapat melakukan hal tersebut.

Tentu saja, saya tahu bahwa Tuhan dapat melakukan segala sesuatu; bukankah itu yang dikatakan oleh Kitab Suci? Tapi bukankan ada batasannya? Satu-satunya cara Tuhan dapat menjawab doa ini adalah dengan mengirimkan paket dari tanah air saya. Saya sudah berada di Afrika selama hampir empat tahun, dan saya belum pernah dikirimkan sesuatu pun dari keluarga saya.

Lagipula, sekiranya ada yang mengirimkan paket kepada saya, siapa yang akan memasukkan botol air panas? Saya tinggal di kawasan tropis!

Pada siang hari, saat saya sedang mengajar di sekolah perawat, ada yang mencari saya dan menyampaikan pesan bahwa ada mobil yang datang di depan rumah saya. Setiba saya ke rumah, mobil tersebut telah pergi tapi saya melihat disitu ada sebuah paket seberat 10 kg. Saya langsung merasakan air mata menetes di pipi saya. Saya tidak dapat membuka paket itu sendirian, lalu saya mengirim orang untuk memanggil anak-anak dari panti asuhan. Setelah mereka datang, kami bersama-sama membuka paket itu.

Dengan sangat berhati-hati mereka membuka paket itu supaya kertasnya tidak robek, saya dapat merasakan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka. Sekitar 30 sampai 40 pasang mata sedang terfokus pada apa yang ada di dalam paket itu.

Di dalamnya ada baju kaos yang berwarna-warni. Selain itu terdapat perban untuk pasien kusta, dan anak-anak itu terlihat tidak berminat. Lalu ada juga kismis yang akan saya buatkan roti di akhir pekan nanti. Lalu saya memasukkan tangan saya ke dalam paket dan saya dapat merasakan... apakah memang seperti yang saya pikirkan? Iya, saat saya menariknya keluar, saya melihat satu botol air panas yang baru. Saya langsung menangis.

Saya tidak meminta Tuhan untuk mengirimnya; saya tidak sesungguhnya percaya bahwa Dia dapat melakukannya. Ruth berada di bagian depan. Dia langsung maju ke depan dan berkata dengan suara yang keras, "Jika Tuhan mengirimkan botol itu, Dia pasti mengirimkan boneka juga!"

Ruth langsung menggeledah paket sampai ke bagian bawah, dan dia mengeluarkan satu boneka kecil yang sangat cantik. Matanya bersinar-sinar! Dia tidak pernah ragu!

Memandang pada saya, Ruth bertanya, "Apakah saya bisa pergi bersama Anda dan memberikan boneka ini pada anak itu, supaya dia tahu bahwa Tuhan mengasihi dia?"

"Tentu saja," saya menjawab!

Paket itu sudah dikirim lima bulan sebelumnya oleh kelas Sekolah Minggu saya. Pemimpinnya mendengar dan menaati dorongan dari Tuhan untuk mengirim botol air panas, sekalipun ke daerah tropis.

Dan salah seorang anak perempuan telah memasukkan boneka untuk seorang anak di Afrika lima bulan sebelumnya, yang menjawab doa seorang anak berusia 10 tahun yang meminta agar dikirimkan "siang itu juga."

"Sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya." (Yesaya 65:24). Amin.~ (Sumber : RR)

Saya Berdoa, Tuhan Kabulkan



“Bapak, maulah bapak berdoa untuk saya….” Tanya seorang perempuan kepada pendeta Yongky. 

Pendeta Yongky baru selesai memimpin ibadah KKR, dan ia baru pertama kali melayani di Gereja kecil itu.

Sore yang kelabu karena mendung yang siap tertumpah ke muka bumi. 

“Apakah yang akan didoakan anakku…” tanya pendeta Yongky sambil menatap perempuan yang terlihat lesu dan gelisah. Terlihat sesekali ia menghapus keringat yang membasahi keningnya, dan nampak ia berusaha menutupi kegelisahan hatinya dengan menundukkan kepala dan meremas jari jemarinya.

“Tolong doakan saya dapat jodoh, bapak… Umur saya sudah 32 tahun… dan sampai sekarang saya belum dapat jodoh….

Beberapa kali saya menjalin hubungan dengan seorang lelaki, namun selalu gagal…. 

Saya sudah khawatir dengan usia saya, orang tua dan keluarga sudah terus mendesak saya untuk segera menikah…

Saya ingin menikah, tapi dengan lelaki yang benar-benar saya cintai dan mencintai saya…. Dan saya menginginkan lelaki yang takut Tuhan. 

Sungguh bapak, walaupun usia saya sudah tidak muda lagi, saya benar-benar menginginkan lelaki yang menjadi suami saya nanti adalah lelaki yang baik dan pilihan hati saya. Saya tidak ingin menikah hanya karena tuntutan usia, dan kemudian hanya akan berakhir dengan kepahitan….

Saya ingin menikah sekali untuk selamanya, sampai Tuhan memisahkan kami dalam kematian…. 

Saya sudah berdoa. Namun sampai sekarang jodoh itu tidak kunjung datang….. Oh tolonglah saya bapak…” airmata bercucuran dari mata kuyu itu. 

Pendeta Yongky mengambil beberapa lembar kertas putih dan sebuah pena dan menyerahkannya pada perempuan itu. 

“Anakku…, apakah kamu percaya Tuhan telah mendengar doamu dan mengabulkannya…?” tanya pendeta Yongki dengan tatap mata teduh.

“Ya … bapak, saya percaya….” Sahut perempuan itu dengan tegas. Nada suara tegas dan pancaran mata bersemangat seolah ada bintang-bintang disana semakin menegaskan keyakinannya. 

“Siapa namamu anakku…?” 

“Maya…, bapak” 

“Maya, sekarang kamu tuliskan di kertas ini, ciri-ciri lelaki yang kamu inginkan untuk menjadi suamimu. Bagaimana perawakannya, warna kulitnya, warna rambutnya, bentuk parasnya, suaranya, pekerjaannya. Pokoknya tuliskan semua yang jadi impianmu tentang lelaki yang akan menjadi suamimu itu….” Saran pendeta Yongky.

Maya menuruti nasihat itu, dan dengan serius dan bersemangat menuliskan gambaran lelaki impiannya.


“Anakku, dalam kitab Ibrani 11:1 dinyatakan bahwa Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. 

Kamu berdoa untuk mendapatkan jodoh seperti yang kamu tuliskan di kertas itu dengan ciri-ciri yang begitu lengkap, dan kamu percaya bahwa itu sudah diberikan Tuhan padamu. Sesungguhnyalah apa yang kamu imani itu sudah diberikan Tuhan, ia akan hadir dan kamu terima pada saat yang paling tepat untukmu.

Jadi kamu harus sabar. Teruslah bertekun dalam doa, sampai doa itu dijawab oleh Tuhan.

Tempelkanlah kertas yang telah kamu tulis itu ditempat yang paling sering kamu lihat, misalnya di kaca riasmu. 

Bila kamu membacanya, maka secara nyata akan tergambar dengan jelas dalam pikiranmu lelaki idamanmu, dan naikkan permohonanmu dalam doa pada Tuhan, dan ucapkan terimakasih, dan amini setiap doa yang kamu panjatkan itu.” 

“Ya…. Bapak…” 

“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Demikian bunyi Firman Tuhan dalam kitab Yohanes 15:7”.

“Terimakasih bapak….” Kata Maya dengan mata berbinar-binra karena rasa bahagia.

“Tuhan Yesus memberkatimu selalu, anakku….” Kata pendeta Yongky setelah mereka sama-sama berdoa. 



Saudaraku terkasih, 

Peristiwa itu sudah dua tahun yang lalu, dan pendeta Yongky nyaris tidak mengingatnya lagi, sampai saat ia kembali melayani di Gereja kecil di atas bukit itu, diantara jemaat yang menyalaminya, muncul seorang perempuan yang menggendong seorang bayi mungil yang cantik dan lucu. Bayi mungil itu nampak pulas dalam dekapannya. 

“Bapak….., saya Maya…. Bayi ini putri kami….namanya Maria. Dan ini suami saya….Joshua.” dengan erat digenggamnya jemari pendeta Yongky, dan dengan kegembiraan yang penuh diperkenalkannya suaminya, seorang lelaki gagah dengan wajah dan senyum ramah simpatik. 

Bayi mungil dipelukannya bagai ikut tersenyum dengan kegembiraan dan kebahagiaan ayah bundanya.

“Bapak ingat kan, saya yang dua tahun lalu datang pada bapak dalam keputusasaan, dan bapak menasihatkan saya agar berdoa dengan tidak putus-putusnya untuk jodoh yang saya impikan dan saya tuangkan di kertas… 

Tuhan telah mengabulkan doa dan permohonan saya…. Lelaki dari surga itu telah dikirimkan pada saya, dan ia melebihi apa yang saya tuliskan di kertas itu …” kata Maya dengan wajah penuh senyum, sementara suaminya menatapnya dengan mata penuh cinta. 

Maya menceritakan bagaimana ia mengenal suaminya. Seorang pemuda dari kota yang baru menyelesaikan pendidikannya dan mengabdikan dirinya di kota kecil dimana Maya tinggal, yang kemudian aktif di organisasi pemuda di gereja Maya. 

“Terpujilah nama Tuhan. “ puji pendeta Yongky sambil menengadah kelangit. 

(Matius 17:20) Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.

He said to them, Because of the littleness of your faith. For truly I say to you, if you have faith like a grain of mustard seed, you can say to this mountain, Move from here to yonder place, and it will move; and nothing will be impossible to you.

LORD JESUS bless you and me, now and forever. Amen.



Kesaksian: Pendeta Yongky
sumber: BFC-Surabaya