Api bawah tanah mulai membara, apa ini tanda bencana global?



Di seluruh dunia terdapat ribuan titik api bawah tanah yang kini sedang menyala. Api bawah tanah ini tidak hanya mengeluarkan karbondioksida sebagai hasil pembakarannya yang membuat cuaca semakin hangat, tetapi juga melepaskan gas beracun, sehingga membentuk bencana lingkungan.
Ahli geologi menjelaskan, jika manusia tidak berusaha mencegahnya, api bawah tanah dapat menyebabkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi tingkat kesulitan memadamkan api bawah tanah sangat tinggi, acapkali setelah satu titik api dipadamkan, api akan timbul kembali di tempat lain.
Selain di Kutub Selatan, di bawah permukaan setiap benua besar terdapat bara api bawah tanah. Dinas Pertambangan Permukaan Tanah dari Departemen Dalam Negeri AS, beberapa hari lalu mengeluarkan suatu laporan yang menyebutkan bahwa, di 9 negara bagian AS terdapat lebih dari 100 titik bara api bawah tanah, namun ahli geologi mengatakan, masih terdapat banyak titik api yang belum dilaporkan. Oleh karena itu jumlah api bawah tanah yang sebenarnya jauh lebih banyak daripada angka tersebut.
Menurut pemberitaan majalah Times, AS, pada 21 negara bagian AS terdapat lebih dari 200 titik bara api, dan sebagian besar bara api tersebut telah terbakar bertahun-tahun lamanya. Dari 36 titik bara api bawah tanah yang terdapat di Pennsylvania, termasuk bara api bawah tanah yang terkenal paling berbahaya di AS.
Gas beracun yang dilepaskan api bawah tanah yang terbakar selama 48 tahun ini, membuat warga Centralia Township mengidap berbagai penyakit. Pada era 1980 – 1990-an pemerintah federal terpaksa harus menempuh cara keras memaksa para warga untuk pindah ke tempat lain, dan kini kota itu sudah menjadi kota hantu.
Ahli geologi dari Universitas Alaska Annuma Pracas, pernah menggambarkan sebuah peta letak titik api bawah tanah tersebut dan menyebutnya “bencana global yang tidak memiliki batasan geografis”. Jika manusia tidak mampu memperlakukannya dengan hati-hati, maka titik api itu akan membuat manusia membayar mahal.
Di dekat tambang batu bara Jhairia di Dhanbad Jharkhand, India, terdapat 68 titik api bawah tanah yang terbakar. Gas beracun yang dilepaskan akibat pembakaran tersebut menyebar luas di pemukiman penduduk sekitar. Pracas menjelaskan, jika seseorang menetap selama 24 jam saja di daerah tersebut pasti akan mengeluarkan lendir yang mengandung butiran batu bara di dalamnya. Lingkungan di tempat ini bahkan jauh lebih memprihatinkan dibandingkan tempat manapun.
Tingkat kesulitan untuk memadamkan api bawah tanah ini sangat tinggi, sama seperti sulitnya bermain game memukul tikus tanah. Para pakar menjelaskan, “Saat Anda berhasil memadamkan api di satu titik, maka api akan muncul di tempat lain yang berjarak 300 kaki jauhnya.”
Metode pemadaman api yang digunakan oleh satuan PMK termasuk mengeruk lapisan batu bara yang terbakar lalu memutus kontak api di titik tersebut dengan wilayah sekitarnya.
Kadang kala PMK juga memasukkan cairan bersuhu rendah ke dalam lapisan batu bara, untuk menyerap panas sehingga pembakaran dapat dihentikan. Namun tambang batu bara berskala besar memiliki ruang lingkup mencapai radius beberapa kilometer, dengan ketebalan lapisan batu bara mencapai 27 – 30 meter, yang memiliki banyak lubang seperti sarang tawon. Hal ini menandakan bahwa api bawah tanah akan kembali menyala, dan biaya untuk memadamkan api bawah tanah ini menjadi sangat tinggi. AS telah mengucurkan dana lebih dari 1 miliar dolar AS untuk menanggulanginya.
Memperhitungkan pencemaran yang terjadi akibat api bawah tanah juga sangat sulit, karena bara api ini memiliki banyak lubang ventilasi, dan mengeluarkan karbondioksida, gas metan, merkuri, serta lebih dari 40 jenis gas beracun lainnya dan juga butiran partikel.
Ahli geologi dari Institut East Georgia, Glenn, memperkirakan bahwa bara api di seluruh dunia setiap tahunnya mengeluarkan sekitar 40 ton merkuri ke atmosfir kita, dan emisi karbondioksida yang dilepaskan mencapai 3% dari emisi seluruh dunia. Gas ini sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim dunia yang semakin memanas dan juga terhadap kesehatan umat manusia.




Tidak ada komentar: