(Amerika Latin, abad ke-20)
Antonio tinggal di suatu tempat
penampungan orang yang sakit kusta. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggal di
sana, karena Antonio juga sakit kusta. Pada masa itu belum ada obat yang dapat
menyembuhkan penyakitnya yang mengerikan itu. Tidak ada jalan lain: Antonio dan
para penderita penyakit kusta lainnya itu harus diasingkan dari masyarakat.
Namun demikian, Antonio adalah
seorang penderita penyakit kusta yang bahagia. Pertama-tama, ia bahagia karena
ia percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Hal yang kedua, ia bahagia karena dialah
satu-satunya orang di tempat penampungan itu yang dapat membaca. Hal yang
ketiga, ia bahagia karena ia mempunyai Alkitab.
Semua orang kusta itu buta huruf,
kecuali Antonio. Tetapi banyak di antara mereka sekarang sudah percaya kepada
Tuhan Yesus Kristus. Mengapa? Oleh karena Antonio suka membacakan cerita-cerita
Alkitab bagi teman-teman senasibnya. Itulah kesenangannya yang terbesar.
Pada suatu hari Antonio mulai
merasa agak susah membaca. Matanya terasa agak sakit. Ia semakin terganggu
dalam pembacaannya, dan semakin ingin tahu apa sebabnya.
Kemudian seorang dokter datang ke
tempat penampungan orang yang sakit kusta itu. Ia memeriksa mata Antonio. Lalu
dengan pelan-pelan dokter itu mengucapkan dua kalimat, . . . seolah-olah ia
segan sekali mengatakannya: "Kamu akan menjadi buta, Antonio. tidak ada
obat yang dapat mencegah hal itu."
Antonio duduk terpaku. Buta! Ia
akan menjadi orang kusta yang buta! Ia takkan lagi dapat pergi dari pondok ke
pondok sambil membawa Alkitabnya. Ia takkan lagi dapat membacakan cerita-cerita
yang indah itu bagi teman-temannya.
Berhari-hari lamanya Antonio
duduk terdiam. Bagaimana ia dapat tahan menanggung penderitaan yang bertambah
berat itu?
Lalu pada suatu hari Antonio
mendapat akal. Matanya makin lama makin kabur, namun ia belum buta. Dan
pikirannya masih tetap tajam. Aku akan menghafal beerapa bagian dari Alkitab!
kata Antonio pada dirinya sendiri. Nanti kalau aku betul-betul menjadi buta,
aku masih dapat pergi dari pondok ke pondok sambil menyampaikan isi Firman
Allah kepada teman-temanku!
Segera Antonio mengambil
Alkitabnya. Bagian manakah yang hendak dipilihnya untuk dihafal terlebih dahulu?
Antonio terus membuka-buka halaman demi halaman.
Ah, penting sekali Sepuluh Hukum
Tuhan ini! kata Antonio pada dirinya sendiri. Ah, bagus amat Mazmur 23 ini!
Betapa megahnya kata-kata Nabi Yesaya ini! Betapa indahnya ajaran-ajaran Tuhan
Yesus dalam pasal ini! Betapa senangnya nanti teman-temanku mendengar cerita
mengenai Rasul Paulus ini!
Manakah yang harus dihafalkannya
terlebih dahulu? Ayat-ayat manakah yang patut disimpan dalam hatinya
selama-lamanya?
Antonio memilih tiga pasal dulu.
Mulailah dia menghafal ayat-ayat dari pasal pertama pilihannya itu. Ia bekerja
keras. Setelah beberapa waktu, ia dapat menghafalkannya tanpa kesalahan apa
pun. Memang tidak sulit untuk mengingat apa yang benar-benar kita senangi,
bukan? Lalu ia memulai pasal yang kedua. Tidak lama kemudian ia pun sudah siap
mulai menghafalkannya pasal yang ketiga.
Teman-teman Antonio mendengar
tentang apa yang sedang dikerjakannya itu. Dengan berjalan pincang mereka satu
persatu mulai mampir ke pondoknya.
"Antonio," kata seorang
kakek, apakah kamu sudah hafal Mazmur 8? Rasanya aku harus tetap mendengar
pasal itu."
"Belum, Kek," jawab
Antonio. "Nanti aku akan menghafal pasal itu."
Kakek itu lalu pergi dengan hati
yang puas. Kemudian sekelompok anak-anak datang ke pondok Antonio dengan
berlari-lari. "Hai, Antonio, tolong hafalkan cerita tentang Tuhan Yesus
dan anak-anak!" mereka memohon dengan sangat. "Dan jangan lupa
hafalkan juga tentang para gembala dan orang Majus."
"Baiklah!" jawab Antonio. "Tetapi kalian harus
turut menghafalkannya bersama-sama dengan aku, ya?"
Seorang bapak bertanya,
"Apakah kamu akan menghafal Sepuluh Hukum Tuhan?"
"Memang itu sudah masuk
daftarku, Pak," jawab Antonio.
Seorang ibu mendesak, "Kita
masih perlu mendengarkan Mazmur Sang Gembala, Mazmur pasal 23 itu."
"O ya, Bu, itu sudah
kuhafal," ujar Antonio sambil tersenyum.
"Antonio," sapa seorang
nenek dengan suara yang gemetar, "sudahkah kauhafal kata-kata Tuhan Yesus
tentang rumah kita di surga?" Nenek itu begitu menderita di dunia ini, dan
ia begitu senang mendengar janji Tuhan Yesus tentang rumah di surga, tentang
cukup banyak tempat yang telah tersedia bagi semua orang percaya.
"Antonio pun berjanji: Pasti
aku akan menghafal bagian itu nanti, Nek."
Demikian Antonio bekerja keras
hari demi hari. Demikianlah ia berusaha mengingat baik-baik tiap bagian Alkitab
yang sangat dicintai oleh teman-temannya, para penderita penyakit kusta itu.
Matanya makin kabur. Ia makin
jarang membaca, dan makin sering mengucapkan ayat-ayat di luar kepala.
Akhirnya saat yang telah lama
ditakutinya itu tiba. Pada suatu pagi Antonio membuka Alkitabnya, tetapi tidak
ada satu huruf pun yang dapat dibacanya.
Namun ternyata Antonio tidak
menjadi sebegitu cemas dan sedih seperti yang disangkanya semula. Waktu untuk
belajar sudah selesai, kata Antonio pada dirinya sendiri. Waktu untuk
menyampaikan isi Firman Allah kepada teman-temanku sudah tiba.
Dengan samar-samar Antonio masih
dapat melihat lorong yang menuju ke pondok-pondok tempat tinggal
teman-temannya. Sementara matahari pagi menyinari wajahnya yang tersenyum itu,
ia terus berjalan dengan pelan-pelan.
Sewaktu ia sampai di pondok
temannya yang terdekat, masih terdengar sambutan ria seperti pada waktu-waktu
dulu:
"Antonio datang!"
anak-anak berseru.
"Antonio datang!"
berkumandanglah suara orang-orang dewasa.
"Antonio ada di sini!"
ayo berkumpullah semua! Antonio akan menyampaikan isi Firman Allah kepada kita!
Selamat datang, Antonio! Selamat Datang!"
Lalu Antonio duduk. Matanya yang
tidak berguna lagi itu tak dapat dipakainya untuk membaca. Namun suaranya
mantap, dan dengan tepat sekali ia mulai mengucapkan ayat- ayat kesayangannya
yang dihafalkannya dari Kitab yang paling dicintainya.
Orang kusta yang buta itu
tersenyum. "Kalau Firman Allah ada di dalam hati kita, senang
rasanya," kata Antonio.
Para penderita penyakit kusta
yang telah berkumpul di sekeliling Antonio itu pun setuju dengan pendapatnya.
"Firman Allah ada di dalam hati kita,"
kata mereka. "Sungguh senang rasanya!".*** (SABDA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar