(Pulau Malagasy, 1882)
Satu abad yang lalu, di sebuah
pulau besar yang jauh dari kepulauan Indonesia, seorang anak perempuan kecil
sedang menangis tersedu sedan.
Pantas saja ia menangis! Coba
bayangkan: Si Upik baru saja diculik dari rumah orang tuanya. Ia ditangkap oleh
orang-orang kejam yang memperbudak
manusia.
Seluruh badan gadis cilik itu
gemetar menahan tangisnya.
Dengan bengis si penjual budak
memandangnya; tangannya menggenggam cambuk. "Cukup kau menangis!" ia
berteriak. "Kau mau kucambuki?"
Mata si Upik terbelalak, penuh
rasa takut dan ngeri. "Wah, jangan, pak!"
"Kenapa jangan?" bentak
penjual budak itu. "Kau bukan lagi anak ibumu yang manja. Kau sekarang
seorang budak belian. Coba pikir, di kampung halamanmu sendiri, siapa yang
peduli akan nasib budak?"
Lalu ia pergi, seraya memberikan
peringatan terakhir: "Aku tidak mau mendengar tangisanmu lagi, tahu!
Bagaimana aku dapat menjualmu besok kalau mukamu bengkak karena menangis
terus?"
Apa yang dikatakan oleh pedagang
budak itu memang benar. Di seluruh pulau Malagasy yang besar itu, tidak ada
seorang pun yang menghiraukan nasib budak belian. Bahkan di kampung halaman si
Upik sendiri, jauh di sebelah selatan, seorang budak pasti dihukum kalau
menangis terus dan merepotkan pemiliknya.
Gadis kecil itu mulai berusaha
membiasakan diri dengan kegaduhan dan keramaian kota di sekelilingnya. Dengan
berbuat demikian mudah-mudahan ia tidak lagi terlalu memikirkan kebahagiaan hidupnya
dulu.
Orang tuanya tidak ada di rumah
ketika ia diculik. Karena itu ia berharap agar mereka luput dari serangan para
perampok. Betapa sedihnya mereka bila nanti mereka pulang dan mendapati putri
kecil mereka tidak ada di situ lagi! Mereka akan merasa sangat kehilangan
"si Upik" (begitulah nama julukan yang sering mereka pakai baginya).
Mereka hanya dapat berharap agar anak perempuan yang secantik dia akan dijual
ke dalam sebuah rumah tangga yang cukup baik.
Ketika si Upik menguasap matanya
dan melihat ke sekelilingnya, ia pun mulai tertarik oleh kesibukan di sekitar
tempat itu. Ia memperhatikan orang banyak yang lalu lalang; beberapa
diantaranya, dengan pakaian yang indah-indah, sedang ditunggui oleh budak-budak
belian. Si Upik mulai memikirkan apa yang akan terjadi attas dirinya besok
pagi.
Ketika pagi itu tiba, si Upik
diberi sehelai jubah baru yang sederhana. Rambutnya pun disisir rapi. Si
penjual budak sudah pandai membuat barang dagangannya kelihatan menarik di mata
calon pembeli!
Rasanya waktu lewat dengan lamban
sekali pada pagi itu. Orang-orang kaya biasanya tidak mau datang ke pasar
terlalu pagi. Hanya beberapa orang biasa datang dan membeli budak-budak yang
tidak seberapa mahal harganya.
Sekali-sekali ada orang yang
menanyakan si Upik, yang duduk di bawah naungan sebuah pohon besar dengan
perasaan sedikit takut dan sedikit mengharap-harap. Tetapi mereka selalu terus
pergi setelah mendengar harga yang ditawarkan itu, walau ada juga orang yang
sempat berkomentar dengan berbisik: "Cantik sekali! Mungkin ia akan laku
juga semahal itu."
Sebelum sang surya naik tinggi di
atas cakrawala, datanglah sebuah tandu yang indah, diusung oleh empat budak
laki-laki. Budak yang kelima memagang menaungi seorang wanita muda yang
berbaring di atas usungan itu; pakaiannya sangat mewah.
Wanita yang kaya-raya itu
mengamat-amati setiap budak yang dipertontonkan kepadanya. Kekuatiran dan
kesedihan budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-rupanya ia menganggap
seorang budak itu sama seperti seekor anjing kesayangan saja.
Hanya ada satu budak yang tidak
kelihatan sedih. Itulah si Upik. Ia begitu tertarik akan penampilan wanita kaya
itu sehingga ia memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Belum pernah ia
melihat seorang wanita dengan pakaian sebagus itu!
"Gadis yang itu!" Sang
penumpang tandu menunjuk kepada si Upik. "Kelihatannya cerdik, lagi
cantik. Suruh dia berdiri!"
Sebelum si Upik insaf apa yang
terjadi, jual beli itu sudah selesai. Sekarang ia telah menjadi milik wanita
muda yang kaya-raya itu.
Tidak lama kemudian, usungan itu
dibawa dengan cepat, menerobosi orang banyak. Si upik berusaha mengikuti
langkah-langkah yang terlalu panjang dari budak-budak dewasa itu. Ia
berlari-lari kecil; napasnya mulai terengah-engah. Seorang budak laki-laki yang
tinggi besar berjalan di sisinya untuk menjaga agar ia tidak berusaha melarikan
diri.
Di tempatnya yang baru, si Upik
dengan cepat dan lancar dapat belajar cara-cara melayani majikannya. Majikannya
ternyata sangat baik hati. Ia merasa senang, terutama oleh karena gadis cilik
itu tidak pernah menangis lagi, dan tidak pernah bermuram durja.
Pada suatu hari sang majikan
bertanya dengan sikap tak acuh: "Apa kau lahir sebagai budak, Upik?"
Untuk seketika mata si Upik
tergenang air mata. Tetapi segera ia dapat menguasai dirinya. Ia bertindak
tegak dan menjawab dengan tenang. "Tidak, nyonya besar. Aku diculik.
Kampung halamanku di sebelah selatan. Dari sanalah para perampok menyeretku.
Orang tuaku tidak tahu aku diculik."
Wajah majikannya mengerut.
"Ah! Sama sekali tidak terpikirkan. Apalagi kau masih kecil! Kau begitu
tabah, Upik. Aku sama sekali tidak menyangka kau pernah hidup bebas dengan
keluargamu sendiri."
Kemudian dilanjutkannya:
"Sebetulnya aku tidak begitu suka mempunyai budak yang asalnya bukan
budak. Mencicipi kebebasan, lalu kehilangan kebebasan itu, rasanya lebih pahit
daripada kalau kamu belum pernah hidup bebas. Tetapi setidak-tidaknya kau lebih
mujur menjadi budak di rumahku daripada menjadi budak di rumah orang lain, ya,
Upik?"
Si Upik tersenyum. "Nyonya
besar sudah membuatku bahagia dan puas,
jawabnya dengan tulus ikhlas
Namun kadang-kadang si Upik
merasa kesepian. Pada saat-saat demikian, bila tidak ada tugas, ia suka pergi
menyendiri dan duduk di bawah sebuah pohon yang besar di taman. Dari dalam
jubahnya ia mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa serta. Lama ia duduk
sambil membaca buku kecil itu.
Buku kecil itu adalah buku yang
kebetulan dibaca pada saat ia diculik. Tanpa disadari ia tetap menggenggam buku
itu ketika ia ditangkap dan diseret oleh para perampok. Kini buku kecil itu
menjadi harta si Upik yang paling berharga: Isinya tak lain ialah Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit dengan bahasa Indonesia).
Di dalam rumah tangga majikannya
itu tidak ada seorang Kristen pun kecuali si Upik. Juga tidak ada seorang pun
di antara mereka yang dapat membaca, sang majikan juga tidak. Namun budak-budak
yang buta huruf itu senang mengintip pada saat-saat si Upik pergi menyendiri.
Dan mereka pun senang mendengar si Upik membaca, karena ia selalu membaca
dengan bersuara, sesuai dengan kebiasaan pada zaman itu.
Tidak lama kemudian, setiap
pelayan di rumah tangga itu mengetahui bahwa si Upik memiliki sebuah Buku
kecil, dan bahwa ia pandai membaca isinya. Tetapi tidak seorang pun yang berani
memberitahu sang majikan. Meskipun ia baik hati, mungkin ia akan merasa cemburu
terhadap seorang budak yang begitu pandai. Mungkin ia akan menghukum si Upik;
mungkin ia akan merampas Bukunya.
Pada suatu hari yang panas, sang
majikan berjalan-jalan di taman untuk menikmati buaian angin sejuk. Sayup-sayup
terdengar olehnya suara orang. Karena ingin tahu, ia menghampiri tempat dari
mana suara itu terdengar.
Tampaklah si Upik sedang duduk di
bawah pohon, asyik membaca.
"Ha! Sedang apa kau
Upik?" tanya majikannya. "Sedang menghafal cerita, ya?"
Dengan hormat si Upik berdiri.
Mula-mula ia hendak menyembunyikan Buku kecil itu, tetapi kemudian
diperlihatkannya. "Tidak, nyonya besar. Aku sedang membaca Kitab
Suci."
"Membaca? Sungguh kau
dapat?"
"Sungguh, nyonya
besar," jawabnya seraya menganggukkan kepalanya. "Ayah yang
mengajarku membaca."
Budak-budak yang lain sedang
mengintip peristiwa itu dari jauh, dengan hati yang berdebar-debar. Apakah
majikan mereka akan marah? Ataukah merasa geli saja?
Heran, . . . kedua dugaan itu
meleset. Apa yang mereka dengar kemudian?
"Dapatkah kau mengajarku
membaca, Upik?"
"Dapat, nyonya besar! Dengan
senang hati," jawab si Upik.
Pelajaran itu segera dimulai.
Karena tidak ada buku lain, Kitab Perjanjian Baru milik si Upik menjadi buku
pelajaran.
Si Upik mulai dengan
cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, seperti misalnya cerita domba
yang hilang dan cerita orang Samaria yang murah hati. Kata demi kata sang
majikan belajar membaca perumpamaan-perumpamaan itu.
"Sangat menarik!"
serunya. "Cerita-cerita ini amat indah. Tetapi siapakah Tuhan Yesus itu?"
Maka pelajaran membaca yang
berikutnya diambil dari Kitab Injil Lukas, pasal 2. Budak cilik itu menolong
majikannya membaca tentang kelahiran Yesus pada malam yang ditaburi
bintang-bintang. Mereka membaca tentang para malaikat yang menyanyi dan
memuliakan Tuhan, tentang sinar surgawi yang turun menerangi palungan Sang Bayi
Kudus.
Tetapi pelajaran membaca terpaksa
diperpendek pada hari itu. "Cerita ini terlalu panjang, Upik,"
majikannya mengomel. "Engkau saja yang membacakannya."
Maka si Upik melanjutkan membaca
tentang peristiwa-peristiwa yang indah itu. Pasal demi pasal, pelajaran demi
pelajaran, si Upik membacakan cerita Tuhan Yesus, termasuk ajaran-ajaranNya,
penyalibanNya, dan kebangkitanNya. Ia pun meneruskan cerita itu dengan
membacakan perbuatan-perbuatan para pengikut Tuhan Yesus setelah Hari
Pentakosta.
Sang majikan, beserta semua
budaknya yang cukup dewasa, terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Belum
pernah mereka mendengar cerita yang demikian!
Bukan hanya itu saja: Wanita
bangsawan itu mulai mengundang teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya pada
waktu senja. "Aku mempunyai seorang budak baru," katanya,
"seorang gadis kecil. Anehnya, ia dapat membaca. Buku miliknya sendiri
memuat cerita-cerita yang sangat menarik, serta ajaran-ajaran yang belum pernah
kudengar. Ayo datang dan mendengar Upikku membaca!"
Mungkin saja majikan itu pun
ingin agar teman-temannya mengetahui bahwa ia sendiri sekarang dapat membaca.
Karena setiap kali tetangga-tetangganya datang, ia mengambil Buku kecil dari
tangan si Upik dan membuka halaman-halaman tertentu. Walau ia membaca dengan
pelan-pelan, namun kedengarannya cukup jelas, sehingga teman-temannya menjadi
takjub.
Lambat laun Kabar Baik itu mulai
meresap ke dalam hatinya. Pada suatu hari wanita yang kaya-raya itu berkata,
"Upik, letakkan dulu Bukumu dan jelaskan kepadaku bagaimana caranya aku
dapat menjadi pengikut Tuhan Yesus."
Hal ini tidak mengherankan si
Upik. Siapa yang tidak mau mengikut Tuhan Yesus, demikianlah pikirannya. Siapa
yang tidak mau berbakti kepada Allah Bapa, yang begitu mengasihi kita sehingga
Ia mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juru Selamat kita!
Namun si Upik jadi terheran-heran
juga pada suatu hari semua budak dipanggil menghadap majikan mereka.
"Kalian sudah tahu," katanya dengan lambat, "bahwa aku telah
menjadi pengikut Tuhan Yesus. Oleh karena itu, aku tidak boleh lagi memperbudak
sesamaku. Kalian semua merdeka."
Merdeka! Para budak itu
hampir-hampir tidak mempercayai apa yang mereka dengar. Sungguh suatu hari yang
diliputi kebahagiaan!
Beberapa di antara mereka segera
pulang ke kampung. Yang lainnya lebih suka tetap tinggal pada majikan mereka
sebagai pegawai bayaran.
Dengan sangat gembira si Upik
pulang ke rumah orang tuanya. Ia memasuki rumah itu bagaikan orang yang sudah
bangkit dari kubur. Kedatangannya kembali itu membawa kebahagiaan yang tiada
taranya bagi orang tuanya.
Tetapi kemudian secara sukarela
si Upik kembali lagi kepada sang majikan yang sangat dikasihinya. Mereka
berdua, diiringi oleh bebarapa pembantu, pergi jauh ke suatu tempat di mana ada
utusan-utusan Injil. Di sana mereka memohon agar penginjil-penginjil dikirim ke
kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar dan membimbing orang-orang
Kristen yang baru.
Utusan-utusan Injil yang datang
dari negeri jauh itu merupakan jawaban atas permohonan doa mereka. Tetapi iklim
di pulau Malagasy itu asing bagi para penginjil. Mereka dijangkiti penyakit,
dan satu persatu meninggal. Akhirnya keadaan kembali seperti semula: Tidak ada
yang memimpin dan mengajar pengikut-pengikut Tuhan Yesus yang baru itu.
Namun sang majikan tidak putus
asa. Dengan Alkitab di tangannya, ia mula membaca dan berdoa serta mengharapkan
pimpinan Roh Kudus. Lalu dengan sikap yang tenang dan gigih ia sendiri mengajar
setiap orang yang rela berguru kepadanya.
Lambat laun di kotanya di pulau Malagasy itu
tumbuhlah suatu jemaat Kristen yang banyak sekali anggotanya. Dan hingga kini
orang-orang Kristen yang tinggal di kota itu masih suka bercerita dengan
bangga: "Semuanya itu terjadi oleh karena seorang budak perempuan kecil
yang kesepian membaca Kitab Perjanjian Barunya dengan suara keras, dan oleh karena
seorang wanita muda yang kaya-raya terbuka hatinya untuk menerima ajaran Firman
Allah serta melaksanakannya dalam hidupnya sendiri!" *** (SABDA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar