VONIS itu bak gledek di siang hari.
Oktober 1996, dokter menyatakan Lance Armstrong positif mengidap kanker testis.
Padahal sebagai pembalap sepeda profesional, karirnya lagi kinclong-kinclongnya
di pucuk kesuksesan. Kontrak dengan tim balap Perancis baru saja diteken.
Nilainya, wow, fantastis, dua tahun dia dibayar 2,5 juta dolar AS.
Namun, testisnya memang sudah membengkak sebesar buah jeruk. Dia pun muntah darah. Lebih membahayakan lagi, menurut diagnosis dokter, kanker itu sudah menjalar ke paru-paru dan otak. Operasi darurat pun dijadwalkan saat itu juga. Dokter mengatakan kepadanya bahwa persentase berhasil untuk hidup adalah 50%. Angka manipulasi sebenarnya. Dalam hitungan secara medis, diketahui harapan hidup Armstrong saat itu sesungguhnya tinggal 3%. Jangankan mendengar 3%, mendengar 50% saja jantung serasa mau copot. Siapa pun tentu akan lemas mendengar pengumuman itu.
Tapi, Armstrong tidak. Meski merasakan sakit yang luar biasa, namun dia tetap tegar. Armstrong berpacu dengan waktu. Baginya, penyakit kanker ibaratnya sebuah perlombaan. Ia harus menjalani operasi untuk menghilangkan kanker dan kemoterapi yang dilakukannya selama berbulan-bulan. Kanker membuat Armstrong ambruk. Pembalap tangguh itu kini lemah tak berdaya. Untuk mengayuh sepeda keliling halaman rumahnya saja ia tak mampu. Namun, dia tetap menjalani proses penyembuhannya dengan kukuh. Tanpa mengeluh. Satu harapannya, dia ingin sembuh total. Dan ia percaya itu. Kemoterapi pun selesai dilakukan, dan ajaib, kanker yang dideritanya hilang.
Siapa saja yang mengikuti kisah Armstrong pasti akan jatuh kagum. Semua itu merupakan hasil didikan yang keras. Mentalnya sudah ditempa sejak muda. Ia dididik oleh seorang ibu yang pekerja keras. Ibunya pernah mendapati Armstrong berhenti di tengah jalan karena kelelahan dalam lomba triathlon. Sang Ibu memarahinya, “Kamu tidak boleh berhenti meskipun harus berjalan.” Armstrong pun menyelesaikan lomba itu hingga garis finish.
Keputusan besar dilakukan Armstrong setelah dinyatakan sembuh: dia kembali mengayuh sepeda. Banyak orang yang ragu tentu saja. Bersepeda bukan olahraga ringan. Butuh stamina fisik yang prima dan kuat. Tapi lagi-lagi dia menganggap sebuah sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Dia berlatih. Bahkan lebih keras dan lebih keras lagi. Ia pun berlatih bersepeda dengan mendaki ke atas puncak pegunungan. Ia mampu.
Ketika saat ia merasa sudah benar-benar pulih, pada 1999, Armstrong siap untuk mengikuti segala jenis lomba. Saat yang bersamaan, istrinya pun hamil. Terapi kesuburan menuai hasil. Padahal sebelumnya gara-gara kanker itu pulalah, dia divonis mandul. Hasilnya tak terkira. Lima bulan berselang, untuk pertamakalinya, Armstrong berhasil menjuarai Tour de France pada 1999. Dia pun menjadi raja tur paling terkenal sejagat itu. Berturut-turut, selama tujuh tahun, hingga 2005, dia selalu tampil di podium pemenang.
Setelah itu, dia benar-benar mundur. Tapi dia tidak sepenuhnya lengser. Pengalaman dirinya menghadapi penyakit kanker memberinya inspirasi untuk mendirikan Yayasan Lance Armstrong. Dan pada tahun 2004, ia mengembangkan Gelang Livestrong sebagai upaya meningkatkan kesadaran bagi para korban kanker.
Armstrong telah mengajarkan kepada banyak orang, ketika melawan kanker, ia mengalahkan musuh terbesar kehidupan, yakni keputus-asaan. Setiap orang boleh gagal, tapi jangan pernah berputus asa. Penyakit kanker yang dideritanya dijadikan pengalaman hidup yang tak ternilai. Pantang menyerah pada keadaan membuat dirinya mampu bertahan hidup dengan mengagumkan dan melewati berbagai rintangan untuk meraih gelar juara.
“Jika Anda meminta saya untuk memilih menang di Tour de France atau dari kanker, saya akan memilih menang dari penyakit itu. Karena itu adalah kemenangan saya sebagai manusia, pria, suami, anak, dan ayah,” kata Armstrong.
azuwir.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar