Horor tergambar di wajah tirus Saida Abdi Mahdi. Ancaman kelaparan dan bayangan tragis nasib orang-orang yang ia saksikan, menghantui perempuan itu.
Ia menatap lesu ke arah delapan anaknya yang bergeletakan -- ada yang tidur, ada yang menangis, lainnya terdiam bagai onggokan di atas tanah. Tak bergerak. Sementara, bayi dalam gendongannya memegangi kain sambil menyusu di payudaranya yang layu. Wajah bayi lelaki itu berkerut, tubuhnya menyusut.
Saida bahkan tak punya cukup energi untuk berbicara, sehingga suaminya, Yusuf yang menceritakan bagaimana mereka bisa menempuh perjalanan jauh sampai di kamp bantuan internasional. "Tak ada apa-apa lagi di tanah kami, kecuali bangkai-bangkai hewan bertebaran, sungai yang kering kerontang, dan perempuan serta anak-anak yang kurus kering bagai tengkorak -- mereka bahkan tak bisa bergerak apalagi meninggalkan kampung seperti yang kami lakukan," kata Yusuf seperti dimuat Iris Times, Rabu 20 Juli 2011.
Yusuf menceritakan, kampungnya kini bagai gurun, tumbuhan meranggas. "Selama tiga tahun, tak ada hujan yang turun. Sebelumnya kami adalah penggembala, kami bisa memberi makan diri sendiri. Sekarang, sama sekali tak bisa."
Yusuf dan keluarganya menempuh jarak sepanjang 370 kilometer untuk mencapai kamp. Mereka cukup beruntung mendapat tumpangan kamp, setelah berjalan jauh dengan perut kosong di tengah udara menyengat.
Sementara, Sharif Nuro, ayah tujuh anak yang menempuh jarak 300 kilometer menuju kamp menyebut, ada dua alasan mengapa warga Somalia menghadapi krisis akut. "Kekeringan mengerikan selama beberapa tahun ini dan tekanan al Shabab," kata dia.
Al Shabab adalah kelompok pemberontak yang diyakini berafiliasi dengan Al Qaeda. Mereka mengontrol sejumlah kantung di ibukota Mogadishu dan sejumlah bagian di selatan dan tengah Somalia. "Mereka memaksa kami membayar pajak tambahan berupa hewan ternak dan hasil pertanian, mereka memaksa putra-putra kami bergabung dalam kelompok bersenjata, mereka juga memaksa putri kami menikah dengan mereka tanpa mahar."
Apa yang terjadi di Somalia adalah tragedi. Hasil dari setumpuk masalah: perubahan iklim, naiknya harga pangan, dan ketidakstabilan negeri selama beberpa dekade. Kekeringan sebelumnya dialami Somalia 19 tahun lalu.
Seperti dimuat BBC, Perserikatan Bangsa-bangsa telah mendeklarasikan kejadian luar biasa di Somalia: kelaparan. Negeri ini mengalami kekeringan paling parah dalam kurun waktu setengah abad.
PBB menyatakan, situasi kemanusiaan memburuk secara cepat. Parahnya, bantuan kemanusiaan dari sejumlah negara dan lembaga sulit masuk. PBB dan Amerika Serikat sedang berjuang meminta kelompok bersenjata Al Shabab mengizinkan dan menjamin staf dan bantuan bisa masuk dan diberikan pada mereka yang membutuhkan.
Untuk diketahui, sejak 2009, Al Shabab menutup akses masuk lembaga asing ke wilayah terotial mereka. Baru belakangan ini ada sedikit kelonggaran.
Sepuluh juta orang di Afrika terdampak dan membutuhkan bantuan secepatnya, termasuk 2,85 juta di Somalia -- di maan 1 dari 3 anak-anak menderita malnutrisi. (umi)
sumber: VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar