Dari Hari Sabat ke Hari Minggu

Sebuah Ringkasan Disertasi dari Dr. Samuele Bacchiocchi,
terjemahan sdr Adiat Sarman.

Pertanyaan mengenai bagaimana dan kapan hari pertama dalam pekan – hari Minggu – gantinya hari yang difirmankan dalam Alkitab – hari Sabat - menjadi hari istirahat dan kebaktian dari mayoritas orang Kristen, telah lama menjadi perdebatan. Khususnya pada tahun tahun belakangan ini, banyak studi, termasuk beberapa disertasi doktoral, telah mengkaji ulang pertanyaan ini. Tulisan ini, yang berusaha untuk memastikan dasar dasar Alkitabiah dan sejarah terjadinya pemeliharaan hari Minggu mungkin merupakan refleksi dari keinginan untuk menguji kembali keabsahan dan relevansi pemeliharaan hari Minggu pada saat tekanan tekanan sosial dan ekonomi sedang menyoroti masalah ini.

Pandangan historis tentang asal usul hari Minggu
 Secara tradisi, pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti Sabat hari ketujuh telah lebih sering dihubungkan dengan perintah gereja daripada perintah Alkitabiah. Thomas Aquinas, contohnya, menyatakan dengan spesifik: “Dalam hukum baru pemeliharaan hari tuhan mengganti pemeliharaan hari Sabat, bukan karena perintah Alkitab (hukum ke empat) tetapi oleh lembaga gereja”. Pandangan yang sama diulangi tiga abad kemudian dalam Katekismus Konsili Trent (1566) yang menyatakan, “adalah hal yang menggembirakan gereja tuhan bahwa perayaan keagamaan hari Sabat diganti oleh hari tuhan”.  Selama kontroversi teologis pada abad ke enam belas, para teologis Katolik sering merujuk kepada asal usul hari Minggu yang berdasar pada perintah gereja ini untuk menunjukkan kekuatan gereja mereka dalam memberlakukan hukum hukum dan upacara upacara baru. Gaung dari kontroversi itu bahkan dapat kelihatan dalam buku Lutheran yang bersejarah, yaitu Pengakuan Augsburg (Augsburg Confession, 1530) yang menyatakan: “Mereka (orang Katolik) merujuk kepada hari Sabat sepertinya sudah diganti oleh hari tuhan, bertentangan dengan Sepuluh Hukum. Sungguh besar kekuatan gereja itu karena merubah satu hukum dari Hukum Sepuluh !
Pengakuan Augsburg  mengakui asal usul yang berdasar pada perintah gereja untuk pemeliharaan hari Minggu dan menerima hak gereja untuk memberlakukan peraturan peraturan seperti pemeliharaan hari Minggu tetapi menolak wewenang gereja untuk menghubungkan pemeliharaan sebuah hari suci kepada sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan. Serupa dengan itu Calvin melihat hari Minggu lebih sebagai lembaga manusia daripada lembaga ke Allah an. Dalam bukunya “Institutes of the Christian Religion”, Calvin menerangkan:”Mudah sekali untuk membuang spiritisme, hari libur Yahudi dihilangkan, dan untuk mempertahankan ketertiban dan kedamaian dalam gereja…orang orang Kristen yang mula mula mengganti hari Sabat dengan hari yang sekarang kita kenal sebagai hari tuhan”.
 Pada abad abad setelah Reformasi, dua pandangan utama yang saling bertentangan telah diperdebatkan dengan hangat, mengenai asal usul dan alamiah dari hari Minggu. Pandangan pertama menetapkan bahwa hari Minggu berasal dari wewenang Allah pada saat saat awal kekristenan untuk memperingati kebangkitan Tuhan Yesus pada hari pertama dalam pekan. Pendukung pandangan ini secara umum mempertahankan pendapat hari Minggu sebagai pengganti yang sah dari Sabat hari ketujuh. Beberapa teologis terkenal yang mendukung pandangan ini adalah Erasmus (1536), Theodore Beza (1605), Nicolas Bownde (1607), Jonathan Edwards (1758), William Paley (1805), dan James Augustus Hessey (1860) dan lain lain.
Pandangan yang kedua menganggap hari Minggu sebagai lembaga gereja, tidak tergantung pada Hukum Ke Empat. Beberapa pendukung pandangan ini menempatkan asal usul hari Minggu pada jaman rasul-rasul, tetapi beberapa dari mereka menempatkannya pada jaman setelah rasul-rasul. Alasan untuk pandangan ini kebanyakan bersifat praktis, yaitu untuk menyediakan waktu bebas bagi kebaktian publik dan istirahat untuk para pekerja. Pada umumnya pandangan ini mendorong pemeliharaan hari Minggu yang lebih longgar, membolehkan seseorang bekerja, berolahraga, dan menikmati hiburan. Beberapa pendukung yang terkenal dari pandangan ini adalah gereja Katolik, Luther (1546), Calvin untuk beberapa aspek (1564), John Prideaux (1650), Hugo Grotius (1645), William Domville (1850), dan E.W. Hengstenberg (1869) dan lain lain.
Perdebatan tentang asal usul dan alamiah dari hari Minggu belum selesai sama sekali. Baru baru ini sebuah karya besar telah muncul pada kedua sisi Atlantik dengan tujuan utama untuk menerangkan sejarah terjadinya dan dasar teologis dari pemeliharaan hari Minggu. Keterangan keterangan ini pada dasarnya adalah refleksi dari dua pandangan historis yang diterangkan diatas. Pandangan yang pertama, didukung oleh cendekiawan seperti J. Francke, F.N. Lee, S.C. Mosna, Paul K. Jewett dan kerja sama antara R.T. Beckwith dan W. Stott, berpendapat bahwa hari Minggu adalah lembaga Alkitabiah yang berasal dari kebangkitan Tuhan Yesus pada hari pertama dalam pekan sebagai pengganti yang sah dari Sabat hari ketujuh. Akibatnya, hari Minggu dianggap sebagai Sabat orang Kristen yang harus dipelihara sesuai dengan Hukum ke Empat. Pandangan yang kedua berbeda dengan pandangan yang pertama karena pandangan ini meminimalisasi dasar Alkitabiah untuk pemeliharaan hari Minggu dan menyangkal adanya hubungan antara hari Minggu dan Hukum ke Empat. Pandangan ini menyatakan bahwa hari Minggu, berbeda dengan hari Sabat, bukan berasal sebagai hari istirahat tetapi sebagai waktu yang singkat untuk kebaktian yang terjadi sebelum atau sesudah jam jam kerja. Hanyalah pada abad ke empat hari Minggu menjadi hari istirahat sebagai akibat dari dekrit kaisar Constantine pada tahun 321. Para pendukung pandangan yang kedua ini menempatkan sejarah terjadinya hari Minggu pada waktu yang berbeda. Willy Rordorf, sebagai contoh, berpendapat bahwa kebaktian hari Minggu dimulai berbarengan dengan kebangkitan Kristus yang diasumsikan memberikan sebuah pola untuk perayaan ekaristi regular pada setiap hari Minggu.
Sebuah simposium yang monumental (700 halaman) yang disponsori oleh Kelompok Tyndale untuk Penelitian Alkitab di Cambridge, Inggris dan ditulis oleh para professor, seperti D.A. Carson, Harold H.P. Dressler, C. Rowland, M.M.B. Turner, D.R de Lacey, A.T. Lincoln, dan R. J. Bauckham, menyimpulkan bahwa “dapat dibayangkan dengan jelas bahwa pemeliharaan hari Sabat hari pertama …dimulai sebelum persidangan Jerusalem (49 AD). Tetapi kita tidak dapat berhenti disini. Kita harus terus mempertahankan pendapat bahwa pemeliharaan hari Sabat pertama sama sekali tidak mudah dimengerti sebagai fenomena pada jaman kerasulan dan merupakan wewenang kerasulan”. Hiley H. Ward mengusulkan waktu yang lebih kemudian untuk asal usul pemeliharaan hari Minggu dalam bukunya Space-age Sunday. Dia berpendapat bahwa hari Minggu tidak muncul sebagai perkiraan tetapi sebagai antitesis dari hari Sabat, pada saat diantara perang Yahudi yang pertama (70AD) dan kedua (135AD). Faktor utama yang memicu kebaktian hari pertama adalah ‘kenyamanan’, yaitu, keperluan praktis untuk melepaskan hubungan dengan orang Yahudi pada saat pemerintahan Roma menindas orang Yahudi sehubungan dengan pemberontakan yang sering terjadi.
 Sehubungan dengan berlanjutnya perdebatan perdebatan ini, studi ini mewakili usaha baru yang ingin menjelaskan waktu, tempat, dan sebab sebab dari asal usul kebaktian hari Minggu. Apakah asal usulnya bermula di Jerusalem pada jaman rasul rasul dengan kewenangan mereka untuk memperingati kebangkitan Kristus dengan cara perayaan perjamuan Tuhan ? atau apakah asal usulnya dimulai pada saat saat berikutnya, pada sebuah tempat, dan karena faktor faktor yang berbeda? Penjelasan dan verifikasi tentang sejarah kejadian pemeliharaan hari Minggu sangatlah penting, karena hal ini tidak hanya menjelaskan mengenai asal usul tetapi juga dapat menjelaskan apakah pemeliharaan hari Minggu ini dapat diterapkan pada keKristenan dewasa ini.

Kebangkitan Tuhan Yesus dan Asal Usul hari Minggu
Kebangkitan Tuhan Yesus yang terjadi pada hari pertama dalam pekan, pada umumnya dianggap sebagai faktor dasar yang menentukan permulaan ditinggalnya pemeliharaan hari Sabat menuju pada kebaktian hari Minggu. Apakah sumber sumber dokumenter pada saat itu mendukung anggapan ini? Penelaahan saya terhadap sumber sumber ini menunjukkan bahwa anggapan ini lebih berdasar pada fantasi daripada kenyataan. Tidak ada informasi yang dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (PL) yang menganjurkan untuk memperingati kebangkitan Kristus pada hari terjadinya. Kenyataannya, dalam PL hari Minggu tidak pernah disebutkan sebagai ‘hari kebangkitan’ tetapi selalu disebut sebagai ‘hari pertama dalam pekan’. PL tidak pernah menganjurkan supaya Perjamuan Kristus diperingati pada hari Minggu, juga tidak pernah menyatakan bahwa Perjamuan Kristus diadakan untuk memperingati kebangkitan Kristus. Paulus, yang menyatakan bahwa ‘dia akan menyampaikan apa yang dia terima dari Tuhan (1 Kor 11:23) berulang ulang menyatakan bahwa upacara itu dirayakan pada saat dan hari yang tidak ditentukan (1 Kor 11:18,20,33,34).
Apakah kenyataan bahwa Kristus bangkit pada hari Minggu menyiratkan ‘perintah’ supaya orang Kristen merayakan peristiwa itu dengan beristirahat dan berbakti pada hari pertama dalam pekan? Kelihatannya peristiwa kebangkitan lebih mengisyaratkan kerja daripada istirahat. Mengapa? Paling sedikit ada dua alasan.
Pertama, peristiwa ini lebih menandai dimulainya pelayanan Kristus yang baru, bukannya penyelesaian dari misi Kristus di bumi yang terjadi pada hari Jumat sore ketika Juruselamat mengatakan ‘Sudah selesai’ (Yoh 19:30) dan kemudian beristirahat dalam kubur. Sebagai hari pertama penciptaan sebagaimana juga hari pertama misi Kristus yang baru, hal hal ini lebih menyiratkan bekerja daripada istirahat.
Kedua, sabda penting dari Tuhan yang telah Bangkit mengandung ajakan BUKAN untuk ‘datang dan merayakan kebangkitanKu’ tetapi malahan ‘pergi dan kabarkan ke sanak saudaraKu untuk datang ke Galilea’  (Matius 28:10; Mark 16:7); ‘Pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu, baptiskan mereka… (Mat 28:19 ; Mark 16:15); ‘pergilah kepada sanak saudaraKu’ (Yoh 20:17); ‘gembalakanlah domba dombaKu’ (Yoh 21:17). Tidak satupun dari himbauan himbauan ini mengajak untuk merayakan kebangkitan dengan berbakti atau beristirahat pada hari Minggu.
Apakah kebangkitan Kristus telah dirayakan pada jaman Perjanjian Baru (PB), pada saat perayaan Paskah seperti yang banyak orang Kristen lakukan dewasa ini? Kelihatannya tidak mungkin. Paulus menghimbau orang Kristen di Korintus untuk ‘merayakan festival Paskah’ yang di dalamnya Kristus, domba Paskah kita, telah dikorbankan’ (1 Kor 5:7,8). Adalah pengorbanan Kristus yang secara eksplisit dikaitkan dengan Paskah, bukan kebangkitanNya. Arti yang sama dari Paskah terdapat dalam dokumen-dokumen di negara negara Barat dan Timur yang mempersoalkan perayaaan festival ini. Buku apokripa yang berjudul ‘Epistle of the Apostles’ (thn 150AD) menyebutkan ‘rayakanlah peringatan kematianku’, i.e. Paskah. Penderitaan dan kematian Yesus juga mengilhami tema tema yang berulang dari buku karangan Melito ‘Sermon on the Passover’ (khotbah Paskah) (thn 170 AD) dimana sebutan Paskah diterangkan dengan salah sebagai turunan dari kata kerja ‘untuk menderita’ – tou pathein. Iraneous (thn 175) menulis bahwa Musa telah mengetahui dan diberitahu…hari penyerahanNya… dari nama yang diberikan kepada Paskah’.
Dalam sebuah buku Romawi yang berjudul Passover Homily (thn 222) yang mungkin ditulis oleh Bishop Callistus, Paskah orang Kristen diartikan sebagai perayaan pengorbanan domba Paskah sejati :’Disini (Paskah orang Yahudi) seekor domba diambil dari kawanannya, disana (Paskah Kristen) seekor domba yang turun dari Sorga: disini adalah sebuah tanda darah…disana sebuah cawan yang terisi darah dan roh. ‘ Dalam analisa terhadap buku ini, Marcel Richard kaget karena tema kebangkitan lebih sedikit daripada bukunya Melito diatas. Kesan serupa oleh Clement of Alexandria (thn 220) dan Hippolytus (thn 236) memastikan bahwa tidak hanya di Asia tetapi juga di Roma dan Alexandria, Paskah sudah dirayakan selama abad kedua (pada hari Minggu atau bulan Nisan14) terutama sebagai peringatan untuk penderitaan dan pengorbanan Kristus.
Rujukan jelas yang pertama sekali tentang pemeliharaan hari Minggu oleh orang Kristen ditulis oleh Barnabas (thn 135) dan Justin Martyr (thn 150). Kedua duanya menyebutkan kebangkitan sebagai dasar pemeliharaan hari Minggu, tetapi hanya sebagai alasan kedua, penting tetapi bukan yang dominan. Rujukan rujukan ini dan diskusi diskusi lainnya bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa asal usul hari Minggu ‘adalah hanya bisa ditemukan pada fakta Kebangkitan Kristus di hari setelah hari Sabat’.

Gereja di Jerusalem dan Asal Usul hari Minggu
Apakah gereja Jerusalem merintis pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat? Anggapan yang populer ini berdasar pada beberapa asumsi. Asumsi pertama, karena kebangkitan dan beberapa pemunculan Kristus terjadi pada hari Minggu di Jerusalem, kebaktian hari Minggu dimulai dari kota ini oleh perintah kerasulan untuk memperingati kejadian kejadian penting ini dengan hari khusus Kristen dan kebaktian. Asumsi kedua, karena perubahan hari kebaktian hanya dapat dilakukan oleh gereja yang mempunyai kekuasaan besar, gereja Jerusalem – gereja induk kekristenan – logikanya, adalah satu satunya tempat dimulainya kebiasaan ini. Lebih lanjut, tiadanya jejak jejak pertentangan mengenai hari Sabat dan Minggu diantara Paulus dan partai Judas dianggap sebagai indikasi bahwa kebaktian hari pertama mula mula sekali diresmikan oleh wewenang kerasulan di gereja Jerusalem dan akibatnya Paulus menerima hari baru untuk kebaktian ini sebagai kenyataan. Apakah asumsi asumsi ini sah dan didukung oleh catatan catatan sejarah mengenai gereja Jerusalem? Sebuah evaluasi yang objektif terhadap bukti bukti tertulis berikut ini akan memberi jawabnya. 
Komposisi etnis dan orientasi teologis. Buku Kisah Para Rasul dan beberapa dokumen Judeo Kristen menunjukkan bahwa komposisi etnis dan orientasi teologis dari Gereja Jerusalem adalah sangat Yahudi. Dalam buku Kisah Para Rasul, Lukas sering melaporkan peristiwa pertobatan massal orang Yahudi: 2:41; 4:4; 5:14; 6:1, 7; 9:42; 12:24; 13:43; 14:1; 17:10; 21:20. Diantara orang orang Yahudi yang bertobat ini terdapat orang orang Yahudi yang tekun beragama (Kis 2:5,41), banyak imam imam (Kis 6:7) dan ribuan orang Yahudi yang taat pada hukum 10 (Kis 21:20).
Jacob Jervell menganalisa referensi ini yang menandai kesuksesan Lukas menginjili orang Yahudi. Ribuan orang Yahudi yang bertobat ini tidak pernah dianggap sebagai Israel baru tetapi sebagai bagian dari Israel lama yang diperbarui sesuai dengan janji Allah dalam perjanjian lama  (Kis 15:16-18; 1:6; 3:11-26)  Jervell mengatakan “ Karena orang Yahudi Kristen adalah Israel yang diperbarui, maka sunat dan hukum 10  menjadi identitas mereka yang menonjol”.  Rekonstruksi Jervell terhadap kisah Lukas, dimana dikatakan bahwa orang Yahudi yang bertobat mewakili Israel yang diperbarui (Kis 15:16-18) melalui mana keselamatan diberikan kepada orang non Yahudi, agaknya terlalu bombastis, dan gagal untuk mempertimbangkan pengaruh dari pengajaran dan pelayanan Kristus. Kehadiran orang Kristen dalam sinagog (kaabah) pada hari Sabat juga didapati di tempat tempat di luar Jerusalem. Lukas melaporkan bahwa Paulus secara teratur bertemu dengan orang Yahudi dan Yunani di sinagog pada hari Sabat (Kis 18:4; 13:5, 14, 42, 44) dan menerangkan bahwa kehadiran itu adalah kebiasaan Paulus (Kis 17:2). Juga Apollo, pada saat tiba di Epesus, bertemu dengan umat percaya di sinagog (Kis 18:24-26).
Peranan Yakobus. Eratnya keterkaitan Gereja Jerusalem pada saat saat awal dengan tradisi keagamaan Yahudi dapat dilihat dari peranan Yakobus sebagai orang yang mempertahankan hukum (Kis 15:1, 24; Gal 2:12). Pilihan Yakobus kepada kepemimpinan Gereja Jerusalem jelas didukung oleh para imam dan orang Farisi yang sudah bertobat (Kis 6:7; 15:5) yang secara alami mendukung Yakobus karena ketaatannya yang legendaris terhadap hukum Musa.
Mengenai ketaatan ini dikonfirmasi oleh beberapa dokumen Judeo Kristen yang juga menekankan ‘faktor turunan’. Karena mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kristus (Gal 1:19) Yakobus dapat mengklaim adanya hubungan darah dengan Kristus sehingga memenuhi peran sebagai ‘imam besar’ Kristen yang sah. Hal ini menjelaskan betapa ‘keimamatan’ Kristen baru dan kepemimpinan di Jerusalaem sangat berorientasi Yahudi. Tingkah laku dasar Yakobus dan kaumnya terhadap kewajiban hukum PL lebih relevan dengan usaha pencarian informasi kita mengenai kemungkinan asal usul pemeliharaan hari Minggu di Jerusalem.
Pada rapat orang Kristen pertama (thn 49 – 50) di Jerusalem, ada banyak perdebatan mengenai apakah orang Kristen non Yahudi boleh bebas dari kewajiban sunat (Kis 15:7). Petrus, Paulus, dan Barnabas (ayat 7 dan 12) memberikan pandangan mereka mengenai masalah ini, tetapi kesimpulan terakhir datang dari Yakobus, yang membebaskan orang Kristen non Yahudi dari kewajiban sunat tetapi menganjurkan supaya mereka ini menjauhkan diri dari polusi berhala-berhala dan darah. Pembebasan yang ditetapkan oleh Yakobus ini tidak mungkin terjadi untuk masalah yang lebih penting seperti pemeliharaan hari Sabat.
Perlu dicatat bahwa otoritas dekrit kerasulan cenderung selaras dengan nabi-nabi dan Musa (Kis 15:15-18, dan ayat 21). Beberapa pemikir berpendapat bahwa dekrit itu mewakili ‘apa yang Imamat 17-18 tuntut dari orang asing yang tinggal ditengah-tengah orang Israel’. Jadi, dekrit kerasulan bukan mewakili penyimpangan hukum untuk orang non Yahudi tetapi justru merupakan penerapan dengan dasar hukum Musa yang diwajibkan bagi orang asing/non Yahudi. Pernyataan Yakobus untuk mendukung usulannya juga penting diperhatikan: “karena sejak dahulu Musa mempunyai orang-orang disetiap kota untuk membaca hukum, setiap hari Sabat di sinagog” (Kis 15:21). Walaupun pernyataan Yakobus telah diterapkan kepada bangsa-bangsa yang berbeda (non Yahudi, Kristen, Yahudi Kristen, dan pihak Kristen Farisi), kebanyakan penafsir mengakui bahwa dalam usulan dan pernyataannya, Yakobus menegaskan kembali keterkaitan alamiah dari hukum Musa yang secara tradisi dikhotbahkan dan dibaca setiap hari Sabat di sinagog-sinagog.
Kunjungan terakhir Paulus ke Jerusalem.  (Kis 21, thn 58-60) dan pernyataan Lukas bahwa Paulus ‘ingin segera berada di Jerusalem, jika mungkin, pada hari Pentakosta (Kis 20:16) dan bahwa mereka telah ikut hari ‘perayaan roti tidak beragi’ di Philippi  (Kis 20:6) mengesankan bahwa jadwal liturgi Yahudi secara normatif diikuti oleh orang Kristen. Yang terjadi di Jerusalem sendiri sangat menjelaskan hal ini. Yakobus dan para penatua tidak hanya mengatakan kepada Paulus bahwa ribuan orang Yahudi yang bertobat adalah orang yang taat kepada hukum (Kis 21:20) tetapi juga mendesak Paulus untuk membuktikan bahwa dirinya juga memelihara hukum (Kis 21:24), dengan menjalani upacara penyucian di kaabah. Dalam konteks ketaatan yang sungguh kepada pemeliharaan hukum ini, sulit untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa Gereja Jerusalem telah melanggar salah satu  keyakinan dasarnya – pemeliharaan hari Sabat – dan sebagai gantinya merintis pemeliharaan hari Minggu. Seperti yang dicatat dengan benar oleh M.M.B. Turner, “kepemimpinan Yakobus, yang keYahudiannya legendaris, dan oleh elemen elemen konservativ (imam imam dan Farisi), telah mempertahankan pemeliharaan hari Sabat di Jerusalem dan gereja gereja sekitarnya.”

Gereja Jerusalem setelah tahun 70.
Situasi sangat berubah setelah penghancuran kaabah oleh Romawi pada tahun 70. Sejarawan Eusebius (kira kira tahun 260 – 340) dan Epiphanius (kira kira tahun 315 – 403) menginformasikan bahwa sejak pengepungan Hadrian (thn 135) Gereja Jerusalem beranggotakan orang Yahudi yang telah bertobat, yang digambarkan sebagai orang yang ‘ingin mempertahankan penurutan kepada hukum’. Kenyataannya, sekte Kristen Yahudi Palestina Orthodox  dari kaum Nazaret, yang umumnya diakui sebagai ‘turunan langsung dari komunitas asal’  Jerusalem, menurut Epiphanius, pada abad keempat, masih memelihara praktek praktek PL seperti ‘sunat, hari Sabat, dan lain lain’.
Jelaslah sudah implikasinya. Kebiasaan tradisi pemeliharaan hari Sabat dipertahankan oleh orang Kristen Palestina lama setelah penghancuran Kaabah. Kesimpulan ini sejalan dengan ‘kutuk orang Kristen’ (Birkath-ha-Minim), doa yang diperkenalkan oleh otoritas kerabian Palestina (kira kira thn 80-90) untuk membasmi partisipasi Kristen Yahudi dalam pelayanan sinagog Yahudi. Partisipasi orang Kristen Palestina dalam pelayanan di sinagog tidak cukup beralasan bila dianggap mereka memperkenalkan hari kebaktian baru. Data historis ini melemahkan semua teori yang mengatakan bahwa Jerusalem adalah perintis kebaktian hari Minggu. Dari semua gereja gereja Kristen, Gereja Jerusalem adalah yang paling dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Yahudi.

Peraturan Hadrian.
Perubahan yang radikal terjadi dalam dunia Yahudi setelah tahun 135, dimana penguasa Romawi Hadrian menumpas pemberontakan Yahudi kedua yang gagal, yang dipimpin oleh Barkokeba (132-135). Jerusalem menjadi jajahan Romawi, tidak termasuk orang orang Yahudi dan Kristen Yahudi. Pada saat itu Hadrian melarang praktek agama Yahudi di seluruh kerajaan, terutama pemeliharaan hari Sabat. Kebijakan anti Yahudi yang represif ini menyebabkan pembuatan literatur ‘Kristen’ melawan Yahudi, Adversus Judaeos, yang menganjurkan pemisahan dari dan penghinaan terhadap orang Yahudi. Kebiasaan unik Yahudi seperti sunat dan pemeliharaan hari Sabat sangat dilarang. Mempertimbangkan hal seperti ini, wajar jika kita mengindikasikan bahwa pemeliharaan hari Minggu diperkenalkan pada saat ini dalam hubungannya dengan Paskah hari Minggu, sebagai usaha untuk menjelaskan kepada otoritas Roma perbedaan Kristen dan Judaisme. Kepada indikasi seperti inilah kita perlu memusatkan perhatian.

Roma dan Asal Usul Pemeliharaan Hari Minggu
Festival-festival keagamaan baru seperti pemeliharaan hari Minggu lebih mungkin diperkenalkan dan diikuti oleh sebuah gereja yang memutuskan hubungannya dengan Yudaisme pada saat awal. Gereja itu diakui secara luas. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini tidak termasuk Gereja Jerusalem sebelum tahun 135, karena setelah waktu ini gereja Jerusalem kehilangan kebanggaan keagamaannya dan nyaris tidak berarti apa apa lagi, sehingga sulit dikatakan gereja Jerusalem ini telah merintis perubahan yang tersebut diatas. Kelihatannya, lebih mungkin gereja itu merujuk kepada gereja yang berada di ibukota Roma, karena kondisi sosial, keagamaan, dan politik yang ada disekitar gereja Roma yang mengizinkan dan mendorong ditinggalkannya hari Sabat dan sebagai gantinya mengikuti kebaktian hari Minggu.

Karakteristik Gereja Roma. Berbeda dengan gereja gereja timur pada umumnya, anggota anggota gereja Roma didominasi oleh orang-orang non Yahudi yang telah bertobat. Dalam suratnya kepada gereja Roma, Paulus dengan jelas mengatakan: “Saya berbicara kepadamu, hai orang orang non Yahudi ,” (Roma 11:13). Sehingga pada jaman itu di Roma, seperti yang dinyatakan oleh Leonard Goppelt, “perbedaan antara gereja dan sinagog ditemukan dimana-mana, sesuatu yang tidak ada pada gereja gereja timur.”
Anggota anggota non Yahudi mayoritas inilah yang mendukung pembedaan dengan orang Yahudi di Roma. Contohnya pada tahun 64 Kaisar Nero dengan jelas membedakan orang Yahudi dengan orang Kristen ketika dia menuduh orang Yahudi bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi pada saat itu. Kenyataan bahwa proses pembedaan Kristen dengan Yahudi terjadi di Roma lebih awal daripada di Palestina menyiratkan kemungkinan bahwa hari kebaktian baru mungkin saja diperkenalkan pertama kali di Roma sebagai bagian dari proses pembedaan dengan Yudaisme. Untuk mengerti sebab sebab yang mungkin dari proses pembedaan ini, perlu untuk mengetahui dengan singkat hubungan antara kerajaan Roma dan orang Yahudi pada saat itu.
Dimulai dengan pemberontakan pertama Yahudi melawan Roma (thn 66 sampai 70), berbagai cara digunakan untuk menekan orang Yahudi: militer, politik, dan pajak. Pemberontakan orang Yahudi meletus diberbagai daerah: Mesopotamia, Cyrenaica, Palestina, Mesir dan Siprus. Selama perang besar Yahudi (thn 70 dan 135) lebih dari sejuta orang Yahudi dibantai dalam perang di Palestina saja.. Secara politik, Vespasian (69-79) membubarkan majelis Sanhedrin dan lembaga imam besar. Berikutnya Hadrian (sekitar thn 135) melarang praktek praktek Yudaisme, terutama pemeliharaan hari Sabat. Secara pajak, orang Yahudi dikenakan pajak yang diskriminatif (fiscus judaicus) yang disahkan oleh Vespasian dan dinaikkan pertama kali oleh Domitian (81-96) dan kemudian oleh Hadrian (117-138).
Indikasi dari berbagai tekanan intensif yang terjadi di Roma adalah ditemukannya tulisan tulisan yang menghina Yahudi oleh penulis penulis seperti Seneca, Persius (34-62) Petronius (sekitar thn 66), Quintillian (35-100), Martial (40-104), Plutarch (46-119), Juvenal (sekitar 125) dan Tacitus (sekitar 55-120).  Para penulis ini tinggal di Roma selama umur produktif mereka. Penulis-penulis ini menyiksa orang-orang Yahudi, secara rasial dan budaya, melawan pemeliharaan hari Sabat dan sunat, sebagai contoh dari kebiasaan Yahudi yang mereka katakan ‘tidak jelas gunanya’. Ketidaksenangan orang Roma terhadap orang Yahudi memaksa Titus untuk menyuruh Jewess Berenice, saudara perempuan raja Herodes, untuk meninggalkan Roma. Padahal Titus berencana akan menikahi wanita itu. Masalah Yahudi, seperti yang sudah kita lihat, menjadi lebih parah pada jaman Hadrian karena penindasan yang radikal terhadap agama Yahudi. Keadaan keadaan ini, juga dengan adanya konflik antara Yahudi dan orang Kristen, mendorong timbulnya literatur/ buku buku anti Yahudi yang mengembangkan sebuah ‘teologi’ Kristen yang terpisah dari dan merendahkan Yahudi. Contoh yang jelas dari keadaan ini adalah penggantian festival festival unik Yahudi seperti Passover dan hari Sabat dengan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu.

Roma dan hari Sabat. Pusat dari berkembangnya keadaan ini kelihatannya adalah Gereja Roma dimana cara cara teologis, sosial, dan liturgis telah dilakukan untuk mengajak orang orang Kristen meninggalkan kebaktian hari Sabat dan mendorong kebaktian hari Minggu. Secara teologis, hari Sabat telah diturunkan derajatnya dari ketentuan yang berlaku universal kepada ketentuan buatan manusia yang sementara. Secara sosial, hari Sabat telah dirubah dari hari tradisi untuk berpesta dan bergembira (feasting and gladness) kepada hari untuk berpuasa dan gelap (fasting and gloom). Peranan Gereja Roma dalam mempromosikan dan merintis puasa hari Sabat jelas dicatat dalam rujukan sejarah dari Bishop Callistus (217-222), Hippolytus (170-236), Bishop Sylvester (314-335). Paus Innocent I (401-417), Augustine (354-430) dan John Cassian (360-435).
Puasa hari Sabat tidak hanya untuk melambangkan kesedihan untuk kematian Kristus, tetapi, seperti dinyatakan dengan empati oleh Bishop Sylvester, untuk menunjukkan penghinaan kepada orang Yahudi – exsecratione Judaeorum. Kesedihan dan rasa lapar sebagai akibat dari berpuasa akan menyebabkan orang orang Kristen untuk menghindar dari pemeliharaan hari Sabat bersama dengan orang Yahudi, dan mendorong mereka dengan penuh keinginan dan kegembiraan memelihara hari Minggu. Secara liturgis, hari Sabat dibuat sebagai hari non keagamaan karena tidak ada upacara yang boleh dijalankan selama hari Sabat, karena upacara upacara ini dianggap membatalkan puasa.
Kemungkinan besar hari Sabat mingguan berkembang dengan pesat sebagai perluasan atau pasangan dari Sabat suci tahunan pada musim Paskah pada saat orang Kristen berpuasa. Kedua hal ini dirancang bukan hanya untuk mengekspresikan kesedihan karena kematian Kristus tetapi juga penghinaan untuk orang Yahudi. Lagipula, karena puasa mingguan dan tahunan Sabat sebagaimana hari Minggu mingguan dan Paskah hari Minggu sering ditunjukkan oleh para bapa sebagai hal yang saling berhubungan dalam arti dan fungsinya, sangatlah mungkin bahwa praktek praktek ini berasal bersama sama sebagai bagian dari perayaan paskah hari Minggu. Karena itu adalah penting untuk memastikan waktu, tempat, dan penyebab penyebab dari asal usul paskah hari Minggu, karena hal ini dapat menuntun kepada asal usul pemeliharaan hari Minggu.

Roma dan Paskah hari Minggu. Langkanya dokumen yang tersedia dan sifat yang kontroversial dari masalah ini menyulitkan untuk menentukan dengan pasti dimana, kapan, dan oleh siapa paskah hari minggu pertama kali dilakukan. Sejarawan Eusebius (260-340) menyediakan informasi tentang kontroversi yang meledak pada abad kedua diantara gereja Roma, yang meresmikan tanggal paskah hari Minggu, dan orang orang Kristen Asia yang mempertahankan perayaaan Passover pada bulan Nisan 14 (dikenal sebagai tradisi Quartodeciman). Sebagai pendukung kuat dari perayaan paskah hari Minggu yang diresmikan oleh Konsili Nicaea (325) Eusebius tidak segan segan memberi hari ini suatu asal usul kerasulan. Kenyataannya, dalam laporannya, Eusebius dengan jelas memastikan bahwa paskah hari Minggu “berasal dari tradisi kerasulan dari dahulu hingga kini”. Juga dalam kesimpulannya, Eusebius menyebutkan bahwa synode Palestina (yang diadakan sekitar tahun 198 atas permintaan Bishop Victor dari Roma) memandang paskah hari Minggu sebagai ‘telah turun dari para rasul’.
Dengan informasi informasi seperti diatas, Eusebius telah sungguh berhasil mengacaukan beberapa ahli yang tidak sengaja menerima asal usul kerasulan paskah hari Minggu. Tetapi kalau kita membaca karya Eusebius dengan hati-hati, pasti kita dapat melihat bias dari pernyataan-pernyataannya yang tidak tepat. Seperti yang dicatat oleh Marcel Richard, “sejak awal bukunya , kita mengamati bahwa Eusebius mengartikan Paskah Quartodeciman sebagai ‘tradisi lama’ sementara dia mengatakan paskah hari Minggu berasal dari ‘tradisi kerasulan’ dan disebut dengan jelas sebagai ‘hari kebangkitan Tuhan’, kentara sekali pembelaan Eusebius”.  Referensi referensi yang tersedia paling awal mengenai paskah hari Minggu dan tradisi Quartodeciman menyebutkan dasar Passover sebagai perayaan kesedihan Kristus, dan bukan KebangkitanNya. Tertullian (160-225) sebagai contoh, merujuk kepada “passover Tuhan, yaitu kesedihan Kristus”.   Fakta ini juga didukung oleh usaha Origen untuk menyangkal interpretasi Passover sebagai ‘kesedihan’ dengan menunjuk arti etimologis dari kata bahasa Ibrani pesah, yang berarti ‘untuk melewati / pass over’. 
Kesalahan Eusebius lebih nampak pada saat dia menjelaskan asal usul Passover Quartodeciman. Dalam memperkenalkan dua surat penting dari Polycarp dan Irenaeus, Eusebius selalu menyebutkan tradisi Quartodeciman sebagai ‘kebiasaan lama’ dan ‘kebiasaan kuno’ bukan sebagai ‘tradisi kerasulan’. Eusebius menyediakan tradisi kerasulan ini khusus untuk Paskah Hari Minggu. Padahal, dokumen yang dikutip dua kali oleh Eusebius dengan jelas menyebutkan asal usul tradisi kerasulan untuk Passover Quartodeciman, dan tidak menyebutkan apa apa tentang adanya asal usul kerasulan untuk Paskah hari Minggu.
 Dalam kepentingan Eusebius untuk mempertahankan asal usul kerasulan bagi Paskah hari Minggu, Eusebius sebetulnya mempunyai kesempatan untuk menjelaskan bukti bukti tertulis, bila memang ada (tetapi kelihatannya tidak ada dokumen yang dapat dijadikan dasar). Sebagian dari surat Iraneous yang dikutip oleh Eusebius malah lebih menyiratkan bahwa Paskah hari Minggu ada sejak awal abad kedua. Hal ini kelihatan dari himbauan Irenaeus kepada bishop Victor dari Roma (sekitar thn 189-199) untuk mencontoh pendahulunya, yaitu Anicetus dan Pius dan Hyginus dan Telephorus dan Sixtus, yang merayakan Paskah pada hari Minggu, tetapi tidak pernah ribut dengan orang yang merayakan Paskah pada bulan Nisan 14.
 Sinyalemen Irenaeus tentang bishop Sixtus (116-126) yang pertama kali tidak memelihara Paskah Quartodeciman menyediakan satu kemungkinan bahwa Paskah hari Minggu mulai dipelihara di Roma pada hari Minggu sejak jaman itu.
Kesimpulan ini telah diambil oleh beberapa cendekiawan. Henri Leclerg, contohnya, dengan dasar pesan Irenaeus, menempatkan asal usul Paskah hari Minggu pada awal abad kedua, dibawah masa bishop Sixtus I di Roma, sekitar tahun 120. Karl Baus menulis hal yang sama:  “Tidaklah mungkin lagi untuk menentukan kapan dan oleh siapa Paskah hari Minggu ini diperkenalkan di Roma, tetapi pasti hal ini ditetapkan di Roma pada awal abad kedua, karena Irenaeus dengan jelas berasumsi bahwa hari ini telah ada pada jaman Bishop Roma Xystus”. J.
Jeremiah juga mengungkapkan “Irenaeus melacak kembali Paskah hari Minggu Roma ini kepada Xystus, walaupun Irenaeus tidak menyebutkan waktu yang tepat. Hipotesa yang menyatakan asal usul Roma untuk Paskah hari Minggu pada jaman Xystus secara tidak langsung didukung oleh pernyataan Epiphanius bahwa kontroversi mengenai Paskah timbul setelah eksodus bishop yang pro kepada ajaran sunat dari Jerusalem. Eksodus ini diperintahkan oleh Kaisar Hadrian pada tahun 135 setelah menumpas pemberontakan Yahudi yang kedua. Kaisar ini, seperti telah dicatat di depan, menganut kebijakan garis keras terhadap kebiasaan dan upacara upacara Yahudi. Untuk mencegah tekanan dari pemerintah bishop Sixtus boleh jadi telah mengganti festival festival khas Yahudi seperti hari Sabat mingguan dan Paskah tahunan, dengan hari Minggu dan Paskah hari Minggu.
Penerapan Paskah hari Minggu beberapa tahun kemudian di Jerusalem oleh bishop bishop Yunani yang baru yang menggantikan pemimpin kristen Yahudi pasti ditolak oleh orang orang yang tidak siap menerima perubahan itu. Sementara asal usul yang pasti dari Paskah hari Minggu masih saja menjadi perdebatan, kelihatannya ada konsensus yang luas dari pendapat para cendekiawan untuk menganggap Roma sebagai ‘tempat kelahiran’ hari ini. Beberapa cendekiawan, kenyataannya, menamai Paskah hari Minggu itu sebagai Paskah Roma. Hal ini menyiratkan bahwa bukan hanya gereja Roma yang menekankan kebiasaan baru ini tetapi juga sumber sumber sejarah yang ada di kemudian hari. Dua dokumen yang saling berhubungan, yaitu surat konsili dari Kounsel Nicaea (325) dan surat pribadi Constantine kepada semua bishop, gereja Roma disebutkan sebagai contoh pertama untuk Paskah hari Minggu, hal ini pasti karena posisi historis dan peranan gereja ini dalam mendukung pemeliharaan Paskah hari Minggu.

Penyebarluasan Paskah Hari Minggu
Apa yang menyebabkan banyak orang Kristen beralih dari Paskah Quartodeciman kepada Paskah hari Minggu? Apakah karena ada sebab khusus, seperti pada kasus ditinggalkannya pemeliharaan hari Sabat untuk memisahkan diri dari orang Yahudi dan kebiasaan kebiasaan keagamaannya? Banyak cendekiawan mengakui anti Yudaisme sebagai faktor yang penting. J. Jeremias, sebagai contoh, melihat “kecenderungan untuk memisahkan diri dari Yudaisme” sebagai alasan utama yang menyebabkan Roma dan gereja gereja lain mengganti tanggal Paskah dari tanggal Paskah Yahudi (quartodeciman) ke hari Minggu berikutnya. Juga J.B. Lightfoot yang berpendapat bahwa Roma dan Alexandria bahkan memelihara Paskah hari Minggu supaya tidak kelihatan seperti orang Yahudi.
Kenneth A. Strand menolak penjelasan ini dengan berpendapat bahwa “sentimen anti Yahudi sudah jelas untuk periode awal abad kedua yang menunjuk kepada hari Sabat mingguan dan hari Minggu, tetapi dalam hal Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu…sesungguhnya, dinyatakan dalam surat Irenaeus bahwa bishop bishop Roma, dari Sixtus sampai kepada Anicetus mempunyai hubungan yang dekat dengan Quartodeciman”  
Argumen Strand ini gagal melihat fakta yang penting. Pertama, hubungan yang dekat diantara Quartodeciman dengan pemelihara Paskah hari Minggu tidak meniadakan keberadaan sentimen anti Yahudi. Justin Martyr, sebagai contoh, berbicara tentang orang Kristen pemelihara hari Sabat yang tidak memaksa orang lain untuk memelihara hari Sabat, dengan jelas menyatakan “Saya pikir kita harus bergabung dengan mereka (para pemelihara Sabat itu) dan bersama sama seperti orang yang bersaudara”    Tetapi kita mencatat pada awalnya bahwa Justin melihat hari Sabat sebagai merek dagang dari imoralitas Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa “hubungan yang baik” dan “perasaan anti Yahudi” tidak selalu berdiri sendiri. Kedua, pernyataan Strand bahwa “perasaan anti Yahudi” ada dalam kontroversi Sabbath/Minggu tetapi tidak ada dalam kontroversi Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, tidaklah akurat. Ayat pertama dari lagu “Paschal Homily” yang ditulis oleh Melito dari Sardis sekitar tahun 170, mengartikan Passover dalam terang “pembunuhan besar” Kristus oleh orang Yahudi: 
Kamu membunuh orang ini pada saat pesta besar Allah telah dibunuh Raja orang Israel telah dihancurkan, oleh tangan kanan Israel Pembunuhan yang sangat menakutkan, sangat tidak adil!
A.T. Kraabel dengan tepat menyatakan keterkejutannya dan mengatakan bahwa kalau saja para pengajar ini telah membaca dokumen Quartodeciman ini, maka mereka tidak akan mengaitkan hal ini dengan serangan yang panjang dan pahit terhadap Israel. Perasaan anti Yahudi yang sama terdapat dalam Pengajaran dua belas rasul yang populer (awal paruh pertama abad ke tiga) dimana orang Kristen diajak untuk berpuasa pada hari Jumat Paskah dan hari Sabat, untuk “ ketidakpatuhan saudara saudara kita (orang Yahudi)” karena saudara saudara ini telah membunuh diri mereka sendiri dengan menyalibkan Juruselamat kita.
Dokumen ini dan dokumen dokumen lain dengan jelas menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi ada dalam pemeliharaan Quartodeciman dan juga Paskah hari Minggu. Kenyataannya, tidak ada perbedaan teologis yang penting yang dapat dideteksi diantara dua tradisi ini. Dalam kedua tradisi ini, perayaannya terdiri dari pesta yang diikuti dengan perayaan menghormati pengorbanan Kristus. Letak kontroversinya bukan pada arti teologis dari Paskah tetapi pada panjangnya pesta dan tanggal penghormatan.
Dalam dua tradisi ini sentimen anti Yahudi ada dan kenyataan ini membantu menjelaskan adanya hubungan yang baik diantara praktek yang berbeda. Jelaslah bahwa orang Kristen yang memelihara Paskah pada hari Minggu yang terjadi setelah Paskah Yahudi dapat membedakan dirinya lebih jelas dengan orang Yahudi dari pada orang Kristen yang memelihara Quartodeciman pada tanggal yang sama dengan Yahudi. Faktor ini, yang sekarang dapat kita lihat, menyumbang banyak pada tersebar luasnya praktek Paskah hari Minggu. Perkembangan yang dapat diperkirakan yang terjadi pada paruh kedua abad yang kedua mengakhiri hubungan yang baik diantara dua tradisi ini.
Orang yang memelihara Quartodeciman dengan mempertahankan tanggal Yahudi dengan mudah akan menerima cara Yahudi dalam memelihara Paskah. Hal inilah yang terjadi pada tahun seratus enam puluhan, ketika beberapa pemelihara Quartodeciman, seperti dilaporkan oleh Apollinaris, bishop dari Hierapolis (sekitar thn 170) “tidak peduli menciptakan perlawanan…” mengklaim bahwa Tuhan memakan domba paskah bersama murid2Nya pada tanggal Nisan 14 dan Dia menderita pada hari raya roti tidak beragi (nisan 15)”. Para pemelihara Quartodeciman yang radikal ini menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan Paskah perjanjian lama pada saat yang sama dan dengan cara yang sama dengan orang Yahudi, makan domba paskah dalam pesta yang khidmat pada tanggal Nisan 14. Pemelihara Quartodeciman lainnya, malahan, menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan kematian Kristus bukannya pesta paskah Yahudi.
Pertentangan yang terjadi meluas diluar benua Asia dan bertambah lama. Pada awal abad ketiga, tulisan tulisan Clement di Alexandria dan Hippolytus di Roma menentang penganut Quartodeciman yang radikal ini yang didukung oleh komunitas mereka. Di Roma, masalahnya semakin menjadi-jadi ketika Blastus, seorang pemimpin gereja, pada tahun 180 menjadi pemimpin dari sebuah gereja yang mandiri. Tertullian melaporkan bahwa Blastus ingin menerapkan Yudaisme secara sembunyi, dengan mengatakan bahwa hari Paskah hanya boleh dirayakan pada tanggal 14 sesuai dengan hukum Musa.
Seorang bishop Roma bernama Victor ( 189-198) menyadari bahwa satu satunya cara menumpas kaum Yahudi Quartodeciman di Roma ini adalah dengan menyerang langsung semua tradisi Quartodeciman, yang berakar kuat diantara gereja gereja di Asia. Victor melaksanakan caranya dengan memerintahkan bishop bishop di Asia, juga di sejumlah propinsi propinsi lain untuk menyeragamkan pelaksanaan Paskah hari Minggu di daerah bishop masing masing, yang disebut sebagai sinode. Perintah Victor ini dipatuhi dan sejumlah sinode dilaksanakan yang hampir semuanya mendukung Paskah Romawi.
Selain perintah Victor ini, paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya penerimaan yang luas terhadap Paskah Romawi pada saat ini.
Pertama, ada kelompok Quartodeciman radikal yang memaksa untuk memperingati Paskah, bukan hanya pada tanggal Yahudi tetapi juga sesuai dengan cara cara Yahudi, seperti memakan domba Paskah. Kelompok ini kelihatannya menyebabkan pertentangan yang besar di gereja gereja di Asia, Alexandria, dan di Roma sendiri. Perubahan perayaan Paskah dari tanggal Nisan 14 (yang merupakan tanggal Yahudi) ke hari Minggu berikutnya dipandang oleh banyak bishop sebagai cara efektif untuk menahan kecenderungan kebiasaan Yahudi dalam gereja gereja mereka.
Kedua, nilai teologis yang sedang trend pada saat itu mengenai kebangkitan Yesus, sangat mungkin didorong oleh praktek Paskah hari Minggu, karena praktek ini memungkinkan seseorang untuk merayakan kematian Yesus dan kebangkitanNya sekaligus pada hari dimana kedua peristiwa itu terjadi.
Ketiga, perpecahan yang meluas diantara gereja dan sinagog – yang terbukti dari banyaknya buku buku yang bertema melawan Yahudi yang dibuat pada saat itu – mendorong banyak orang Kristen untuk memisahkan diri mereka dari orang Yahudi dan festival festival tradisional Yahudi seperti hari Sabat dan Paskah.
Mengenai hari Sabat, kami telah kemukakan pada bagian terdahulu adanya taktik taktik yang dilaksanakan oleh gereja Roma untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat dan menggantikannya dengan pemeliharaan hari Minggu. Mengenai Paskah, gereja Roma menerapkan perhitungan kalender independen yang didesain untuk meyakinkan bahwa hari bulan penuh selalu jatuh setelah equinox musim semi (sebuah peristiwa yang tidak dianggap oleh orang Yahudi) dan menjamin bahwa Paskah hari Minggu tidak akan pernah dirayakan pada saat yang sama dengan Paskah Yahudi.
Motif anti Yahudi dari perhitungan yang baru itu jelas kelihatan dalam disertasi Perhitungan Paskah, yang diarahkan kepada Cyprian dan dibuat pada tahun 243, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat pada tablet Easter Roma yang dibuat oleh Hippolytus (+/- 222). Pada bagian pendahuluannya, penulisnya menyatakan “Kami ingin menunjukkan kepada mereka yang mengasihi dan menginginkan studi mengenai kekekalan bahwa orang Kristen tidak perlu menjauh dari jalan kebenaran atau berjalan dalam kebutaan dan kebodohan yang orang Yahudi pikir mereka tahu pada hari apakah Paskah itu”.
Motif anti Yahudi yang sama dalam penolakan Paskah Quartodeciman jelas nampak hampir seabad kemudian dalam surat Nicene yang dibuat oleh Constantine, yang menghimbau orang Kristen untuk secara penuh mengadopsi praktek Paskah hari Minggu  yang diterapkan oleh gereja Roma, supaya “tidak mempunyai kesamaan dengan kumpulan Yahudi yang dibenci… semua orang harus bersatu … menghindar dari berpartisipasi dalam kelakuan orang Yahudi”. Penjelasan yang singkat ini diharapkan dapat cukup menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi sesungguhnya ada dalam interpretasi teologis mengenai Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, dan bahwa sentimen ini besar peranannya pada penerapan Paskah hari Minggu secara luas. Kedekatan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu menyiratkan adanya motif anti Yahudi yang sama yang berperan pada kepopuleran pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti pemeliharaan hari Sabat. Kami telah menemukan pendukung untuk kesimpulan ini dalam kesamaan motif dan cara yang dilakukan oleh gereja Roma untuk mendukung pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu, sebagai ganti dari apa yang dipandang sebagai hari Sabat dan Paskahnya “Yahudi”.
Dominasi Gereja Roma. Apakah gereja Roma, pada abad kedua, menikmati kekuasaan yang cukup untuk memperkenalkan dan mendukung pemeliharaan hari hari raya baru seperti hari Minggu dan Paskah hari Minggu, diantara gereja gereja Kristen? Dokumen dokumen yang tersedia dengan mantap menunjukkan adanya kekuasaan yang besar dan pengaruh yang besar dari gereja Roma pada saat itu. Beberapa contoh akan dikutip sebagai illustrasi. Ignatius, menulis dalam pendahuluan untuk Surat kepada orang Roma, memberi selamat kepada gereja Roma dengan kata kata penghormatan yang jauh lebih tinggi dari kata katanya pada surat ke gereja gereja lain. Gereja Roma, seperti ditulis oleh Ignatius, “bertahta pada tempat terhormat dalam daerah kekuasaan Roma; sebuah gereja milik Allah, yang memiliki kehormatan, memiliki penyucian, dan bertahta dalam kasih, memiliki kasih Yesus, dan membawa nama Bapa”.  Ungkapan “bertahta dalam kasih” telah menjadi bahan diskusi para terpelajar.  Istilah “kasih”  - agape – berulang ulang digunakan oleh Ignatius sebagai personifikasi kumpulan orang Kristen dimana kasih seperti itu diwujudkan.
Untuk orang Trallians, contohnya, Ignatius menulis “Kasih orang Smirna dan Epesus mengirim kepadamu ucapan selamat” . Hal ini adalah tanda bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma pada Tahta Kasih (bukan hukum), yaitu, perhatian yang utama untuk kesejahteraan gereja gereja lain. Sayang sekali bahwa yang pada mulanya adalah bertahta dalam kasih lambat laun menjadi dominasi hukum, yang berdasarkan pada tuntutan juridis. Bahwa Ignatius mengetahui kebertahtaan Roma pada kasih ditandai oleh himbauannya kepada gereja yang sama untuk gereja gereja yang tersebar di tempat lain: “Ingatlah dalam doa doamu gereja Syria, yang telah memiliki seorang Pendeta menggantikan saya. Yesus Kristus sendiri yang akan mengawasi gereja ini, bersama sama dengan kasih mu” (9:1).
Apakah wajar bila Ignatius mempercayakan pengawasan dan pendampingan gereja Antiokia kepada gereja Roma yang berada jauh secara fisik dan mungkin anggota anggotanya tidak saling mengenal?  Mungkin lebih baik Ignatius mempercayakan tugas pendampingan ini kepada salah satu gereja di Asia, yang lebih dekat lokasinya dengan Antiokia. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma sebagai memiliki fungsi penting untuk kepemimpinan pastoral. Irenaeus, bishop dari Lyons, dalam bukunya Melawan Penyimpangan (ditulis sekitar thn 175 – 189) menghimbau orang orang yang menyimpang untuk memperhatikan tradisi kerasulan yang dijaga khusus oleh gereja Roma. Dia menyebut gereja Roma sebagai ‘gereja yang terbesar, tertua, dan dikenal secara luas sebagai gereja yang didirikan dan diorganisir oleh dua rasul yang paling terkenal, yaitu Petrus dan Paulus…sehingga semua gereja harus sejalan dengan gereja ini, karena kuasanya yang hebat, dan terpercaya dimana saja, seperti halnya dengan tradisi kerasulan yang dijaga terus menerus oleh orang orang di seluruh dunia”.   Tulisan Irenaeus ini banyak mengandung kesalahan fatal. Jelas bahwa gereja Roma bukanlah gereja tertua karena didirikan setelah gereja di Jerusalem. Juga, bukanlah Paulus yang mendirikan gereja Roma. Dalam suratnya kepada orang Roma, Paulus jelas menyebutkan bahwa dia bukanlah pendiri gereja ini (Roma 15:20-24). Oleh karena itu, pengakuan ini membuktikan adanya sebuah metode untuk mensahkan pendapat yang dipaksakan bahwa gereja Roma adalah gereja yang tertua.
Satu contoh lain tentang otoritas gereja Roma adalah peraturan yang dibuat oleh bishop Victor untuk memaksakan pemeliharaan Paskah hari Minggu. Bishop ini, seperti sudah dicatat terdahulu, meminta kerja sama dari semua konsili di banyak propinsi untuk melaksanakan pemeliharaan Paskah hari Minggu (sekitar tahun 196). Patut dicatat bahwa bahkan bishop bishop yang membenci Roma patuh kepada permintaan Victor ini. Misalnya, Polycrates, bishop Epesus, yang berbicara atas nama himpunan bishop dalam masalah permintaan Victor.
Apakah kepatuhan ini hanya karena sekedar menyenangkan Victor, seperti diargumentasikan oleh Kenneth Strand? Nada bicara Polycrates yang menolak, lebih menyiratkan adanya tekanan yang dibuat oleh Victor kepada para bishop untuk melaksanakan kebiasaan Roma. Hal ini juga didukung oleh tindakan Victor yang drastis ketika dia diberitahukan tentang penolakan bishop bishop di Asia terhadap Paskah hari Minggu: Dia (Victor) menulis surat dan mengumumkan bahwa semua bishop bishop tersebut akan dikucilkan. Jean Colson dengan tepat menulis: “perhatikanlah kekuatan universal dari pengucilan yang dilancarkan oleh bishop Roma ini. Pengucilan ini juga berarti pengucilan dari seluruh gereja di dunia”. 
Pentingnya kebijakan Victor ini dengan gamblang dianalisa oleh George La Piana dalam essaynya yang begitu menerobos yang diterbitkan pada Harvard Theological Review. La Piana menerangkan bahwa “Ketika Victor ingin melarang sebuah tradisi yang merujuk kepada kebiasaan kerasulan, yang menjadi penghalang untuk persatuan komunitasnya dan kejayaan kepausan, Victor memasukkan sebuah doktrin yang mengatakan bahwa tradisi tidak perlu menjadi penghalang kemajuan sebuah institusi yang hidup…ini adalah sebuah awal dari proses sejarah yang memimpin gereja Roma untuk mengidentifikasi tradisi Kristen dengan doktrin dan organisasi dirinya sendiri.”  
Pentingnya peraturan disiplin yang dibuat oleh gereja Roma untuk memaksakan praktek prakteknya terhadap orang Kristen di seluruh dunia diperhatikan oleh hanya sedikit pihak. Seperti yang diterangkan oleh La Piana, peraturan peraturan ini menyumbang pada pertambahan dan terkonsolidasinya kekuatan gereja Roma lebih dari “debat teologis dan spekulasi filosofis”. Selanjutnya La Piana menyimpulkan bahwa “adalah dibawah pengendalian Victor sehingga proses ekspansi pengaruh Roma mulai mengambil bentuknya yang jelas dan juga mulai bangkitnya sebuah tradisi yang akan memainkan peranan penting dalam sejarah Kekristenan”. Bukti bukti sejarah yang diambil secara sampling diatas adalah indikasi bahwa pada abad kedua gereja Roma telah menikmati kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi sebagian besar Kekristenan untuk menerima kebiasaan kebiasaan baru seperti Paskah hari Minggu dan hari Minggu mingguan. Alasan dibalik penerimaan hari hari perayaan baru ini adalah, di satu pihak, kebijakan anti Yahudi yang dijalankan secara politis, sosial, budaya, dan militer yang mempercepat kalangan Kristen untuk memutuskan hubungan dengan Yahudi, dan di lain pihak, konflik yang sudah ada diantara orang Yahudi dan orang Kristen.
Gereja Roma, yang para anggotanya sudah lebih dahulu memutuskan hubungan dengan orang Yahudi dibanding anggota gereja di bagian timur, dan yang gerejanya memiliki kekuasaan yang diketahui luas, memainkan peran yang penting dalam memperkenalkan pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu. Hari hari raya ini kelihatannya pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke dua, pada saat peraturan anti Yahudi yang keras dari Hadrian (sekitar thn 135) menyebabkan orang orang Kristen membedakan diri mereka dari orang Yahudi dengan meninggalkan perayaan perayaan khas Yahudi seperti Paskah dan hari Sabat. Untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat kami menemukan bahwa gereja Roma menggunakan cara cara teologis dan praktis. Hari Sabat diartikan kembali sebagai institusi mosaic (kuno) yang diwajibkan bagi orang Yahudi sebagai tandai kemurtadan mereka, dan orang Kristen dianjurkan berpuasa dan menghindar dari perkumpulan keagamaan pada hari Sabat untuk menunjukkan jarak mereka dengan orang Yahudi.

Kebaktian Menyembah Matahari dan Asal usul Pemeliharaan hari Minggu.
Kondisi kondisi sosial, politik, dan keagamaan yang telah dibahas diatas menerangkan mengapa sebuah hari kebaktian baru telah menggantikan hari Sabat, tetapi pembahasan itu tidak menerangkan mengapa hari Minggu telah dipilih, bukannya hari lain, misalnya hari Jumat, dimana Yesus disalibkan. Pembauran antara pemujaan hari Minggu dan perubahan yang terjadi pada Hari Matahari, dari hari yang menempati posisi ke dua meningkat ke posisi pertama akan menyediakan jawaban yang memuaskan.
Penyebaran Pemujaan Matahari.
Penyelidikan penyelidikan yang baru baru ini dilakukan telah menemukan bahwa “dari awal abad ke dua penyembahan matahari telah dominan di Roma dan bagian bagian lain dari kekaisaran Roma”. Sampai pada akhir abad ke satu, orang orang Roma menyembah matahari – Sol Indiges – nama yang tertera pada beberapa karangan Roma kuno. Tetapi pada abad kedua para penyembah matahari dari timur “Sol invictus – matahari yang tak kelihatan” masuk ke Roma dalam dua mode : pertama, secara individu melalui Sol Invictus Mithra dan secara umum melalui Sol Invictus Elagabal.
Tertullian melaporkan bahwa pada jamannya (150-230) Circus Maximus di Roma difocuskan pada Matahari, yang kuilnya berada di tengah tengah kota, dan yang simbolnya ditempatkan pada puncak kuil, karena orang orang itu berpikir bahwa penyembahan harus dilakukan bukan dibawah atap, tetapi diluar, untuk lebih mencocokkan dengan matahari. Kaisar Hadrian (117 –138 ) mengidentifikasi dirinya dengan matahari dalam mata uang logamnya dan mendedikasikan Colossus Neronus hanya untuk matahari. Colossus Neronus ini dibangun oleh Kaisar Nero yang menggambarkan dirinya sebagai tuhan matahari dengan tujuh gelombang cahaya disekitar kepalanya. Belakangan Hadrian menghapus citra Nero dari bangunan yang besar itu.
Berbagai faktor mendorong penyebaran pemujaan matahari. Salah satunya yang terpenting adalah identifikasi dan penyembahan kaisar sebagai tuhan matahari, yang didukung oleh teologi timur mengenai raja matahari, dan oleh pertimbangan politik. Tentara tentara Roma yang mempunyai kontak dengan Sol Invictus Elagabal dan Mithraism dari Timur, juga berfungsi sebagai penganjur pemujaan matahari di dunia bagian barat. Faktor penting lainnya adalah suasana sindikat pada masa itu.
Marcel Simon dalam suatu studi perseptivnya menunjukkan bagaimana dewa utama dihubungkan dengan ketuhanan matahari. Contoh yang sangat tepat mengenai proses asimilasi adalah dua karangan yang diukir pada sebuah tiang dari mithraeum untuk thermae di Caracalla  (211-217). Karangan yang pertama menerangkan bahwa “Dewa dewa utama seperti Zeus, Serapis, Helios (dewa allah), master yang tidak kelihatan dari alam semesta).  Setelah kematian Caracalla, yang merupakan pendukung dewa dewa Mesir, nama Serapis dicabut dan digantikan oleh nama Mithra. Karangan kedua berisi pemujaan kepada Zeus, Helios, Serapis yang Besar, Penyelamat, yang memberikan kekayaan, yang dengan sabar mendengar, Mithra yang tidak kelihatan”. Patut dicatat bahwa Mithra tidak hanya dihubungkan dengan Serapis, Helius, dan Zeus, tetapi juga disebut sebut terakhir kali sebagai penyatuan dari dewa dewa ini. Marcel Simon menerangkan bahwa dewa matahari (Helios) adalah “unsur sentral dan penting yang menghubungkan dewa dewa yang berbeda beda”.
Penyebaran dan kepopuleran pemujaan matahari ini menyebabkan perubahan yang besar dalam urutan hari hari dalam pekan. Pekan tujuh hari pertama kali diperkenalkan oleh kerajaan Roma pada abad pertama. Pada saat itu nama nama hari diambil dari nama planet. Hari Saturnus (Saturday) mula mula adalah hari pertama dalam pekan dan Hari Matahari (Minggu) mula mula adalah hari kedua. Dibawah pengaruh pemujaan matahari, perubahan terjadi pada abad kedua. Hari matahari berubah menjadi hari pertama, dan setiap hari lain juga maju selangkah sehingga Saturday mundur kebelakang menjadi hari ketujuh. Sulit untuk menentukan waktu yang tepat kapan hari Saturn (Saturday) bertukar tempat dengan hari matahari (Sunday). Ahli astrologi terkenal Vettius Valens menyebutkan bahwa perubahan ini terjadi, atau paling sedikit sedang terjadi, pada pertengahan abad kedua.
Dalam tulisannya berjudul Antologi yang ditulis sekitar tahun 154 dan 174, Vettius dengan eksplisit menyatakan “Dan inilah urutan bintang bintang planet dalam hubungannya dengan hari hari dalam pekan: Matahari, Bulan, Mars, Mercury, Jupiter, Venus, dan Saturn” Urutan yang sama terdapat pada sebuah tablet yang ditemukan tahun 1633 di Wettingen dekat Baden, bersama dengan uang logam (coin) yang bertanggal pada saat Hadrian berkuasa sampai Constantine II (mati tahun 340). Informasi tambahan sehubungan dengan tempat tempat yang didominasi pemujaan matahari yang menyebutkan urutan urutan hari disediakan oleh pernyataan dari Justin Martyr dan Tertullian, dan beberapa Mithraea, seperti dua undang undang yang dibuat oleh Constantine (3 Maret dan 3 July, 321).  
  
Karena adanya hari matahari yang menyaingi hari Saturnus (Saturday) yang terjadi pada awal abad kedua itu adalah sejalan dengan penerapan pemeliharaan hari Minggu oleh orang orang Kristen menggantikan hari Sabat, sebuah pertanyaan timbul: Apakah peningkatan posisi hari matahari menjadi hari pertama dalam pekan mungkin mempengaruhi orang Kristen yang ingin membedakan diri mereka dari hari Sabatnya orang Yahudi, dengan memelihara hari yang sama ini untuk kebaktian mingguan? Ada beberapa indikasi yang menyokong dugaan ini. Secara tidak langsung, dukungan ada dari pimpinan agama terhadap pemujaan orang Kristen terhadap matahari, dengan mengadopsi lambang matahari dari literatur Kristen untuk melambangkan Kristus. Juga dengan adanya perubahan orientasi doa dari Jerusalem ke Timur, dan dengan penetapan hari Natal yang berasal dari pesta kafir. Indikasi yang lebih jelas ialah seringnya lambang matahari digunakan untuk mensahkan pemeliharaan hari Minggu.
Justin Martyr (sekitar thn 100-165)  menekankan supaya orang Kristen berkumpul “pada hari Matahari…karena inilah hari pertama ketika Allah, merubah kegelapan dan ketiadaan, menciptakan dunia”. Hubungan yang dibuat Justin diantara hari Matahari dan penciptaan terang pada hari pertama bukanlah kebetulan, karena beberapa pemimpin agama yang kemudian menyatakan hubungan yang sama. Eusebius (sekitar thn 260-340), contohnya, beberapa kali merujuk terang terangan kepada motif dari terang dan hari Matahari untuk mensahkan kebaktian hari Minggu.
Pada komentar Eusebius atas kitab Mazmur, dia menulis: “Pada hari yang terang ini, hari pertama dan hari sesungguhnya dari matahari, bilamana kita berkumpul setelah enam hari bekerja, kita merayakan hari Sabat yang suci …kenyataannya, pada hari pertama penciptaan dunia inilah Allah  mengatakan: “Jadilah terang and terangpun jadilah. Pada hari ini jugalah Matahari Keadilan telah naik untuk jiwa kita”. Hal ini dan tulisan tulisan yang sejenis menunjukkan bahwa pilihan hari Minggu dimotivasi oleh waktu yang tepat dan lambang yang efektif yang hari Minggu telah sediakan untuk memperingati dua kejadian penting dalam sejarah keselamatan: penciptaan dan kebangkitan. Jerome (sekitar thn 342-420) menyebutkan dua alasan ini dengan jelas : Hari yang disebut sebagai hari Matahari oleh orang kafir, kita akan mengakuinya, karena pada hari ini terang dunia telah muncul dan pada hari ini juga Matahari Keadilan telah terbit”.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari investigasi kami adalah bahwa penetapan pemeliharaan hari Minggu menggantikan hari Sabat telah terjadi, bukan di Gereja Jerusalem oleh otoritas kerasulan untuk memperingati kebangkitan Yesus, tetapi telah terjadi di gereja Roma selama awal abad ke dua, didukung oleh hal hal eksternal. Intrik politik, sosial, agama kafir, dan faktor Kristen – sama dengan masalah tanggal 25 Desember sebagai hari lahirnya Kristus – mendorong dipeliharanya hari Minggu sebagai hari kebaktian yang baru.
Adanya fakta bahwa pemeliharaan hari Minggu berdasar pada kriteria yang meragukan dan bukan merupakan perintah Alkitab menyebabkan kesulitan yang besar dialami oleh para pemimpin agama untuk menjelaskan alasan teologis yang kuat yang tidak dapat dibantah  demi menganjurkan pemeliharaan hari Suci Allah dengan baik. Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan untuk mendidik dan memotivasi orang Kristen untuk memelihara hari Suci Allah bukan hanya datang di gereja pada jam kebaktian tetapi sebagai hari yang utuh untuk beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani? Proposal dari studi kami adalah untuk memimpin manusia menemukan kembali dan mengalami arti, fungsi, dan berkat berkat dari hari Sabat Alkitabiah: hari yang diciptakan bukan untuk jam kebaktian saja untuk menunjukkan perbedaan atau penghinaan terhadap orang lain, tetapi sebagai pilihan Khalik yang jelas untuk 24 jam sehari penuh beristirahat, berbakti, berkumpul, dan melayani keperluan orang orang yang kekurangan.
Studi kami telah menemukan bahwa perhatian utama hari Sabat untuk orang orang percaya adalah untuk berhenti dari pekerjaan harian supaya dapat beristirahat dalam Tuhan. Dengan membebaskan diri kita dari pekerjaan mencari nafkah setiap hari, hari Sabat membebaskan kita dan kita menyediakan diri untuk Tuhan, untuk diri kita sendiri, dan untuk orang lain, sehingga menyanggupkan kita mengalami kehadiran Khalik dan persekutuan dengan sesama manusia. Perbedaan hari Sabat dan hari Minggu bukanlah hanya perbedaan nama dan nomor, tetapi adalah perbedaan otoritas, arti, dan pengalaman. Hal ini adalah perbedaan diantara hari libur ciptaan manusia dan hari Suci yang ditetapkan oleh Allah.  Perbedaan diantara sebuah hari yang dihabiskan untuk memuaskan diri sendiri dan sebuah hari yang disediakan untuk melayani Allah dan manusia. Ini adalah perbedaan diantara pengalaman sebuah hari tanpa istirahat dan sebuah hari Istirahat Khalik untuk Manusia yang tidak mempunyai istirahat .

Tamat.

(Divine Rest for Human Restlessness).   Catatan penerjemah: Ringkasan disertasi ini adalah lampiran dari buku yang berjudul Sabbath, Divine Rest for Human Restlessness.

Tidak ada komentar: