Oleh Andy F. Noya.
Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya
bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai
jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya
hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak
saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker
payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya.
Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya
untuk proses operasi tersebut.Soal persetujuan, relatif mudah.
Sejak awal saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi
kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan tentang risiko
kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya pahami. Kakak saya
juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk itu.
Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah
soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya
sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab
jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus
menghidupi keluarga dengan tiga anak. Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup
tanpa suami.
Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri.
Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat
bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga
mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai
pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.
Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita
kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba
menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan
ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya
selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya.
Seandainya kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan
kecurigaannya pada tanda-tanda awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi
lain. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia
memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi
tidak tertolong lagi.
Saya menyesali tindakan kakak saya yang
"menyembunyikan" penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan --
setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa
memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia
sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin
menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya. Namun ketika keadaan
yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah satu yang
harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan dokter
untuk biaya operasi.
Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya
tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat
dokter menganjurkan operasi. "Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak
ada jaminan saya akan terus hidup," ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu,
saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia
tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.
Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan
jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya
mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. "Tuhan, sebagai manusia,
akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi
hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka
jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini." Setelah
itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.
Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai
perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal
biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa
saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan
yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak
cukup kuat sehingga masih saja gundah.
Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di
ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan
public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi
pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan
terpaksa menelepon saya karena "keadaan darurat". Pembicara yang
seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat
menggantikannya.
Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan
sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu
sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi,
katanya, para peserta puas.
Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara
lagi untuk acara-acara mereka yang lain. Sebelum meninggalkan tempat workshop,
teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak
terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat
menyelamatkan sahabat saya itu.
Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya. Di
tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak
menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah
seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan
hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam hari baru
saya berani membuka amplop tersebut.
Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum
di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi
kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. TUHAN, Engkau memang luar biasa.
Engkau Maha Besar. Dengan cara-MU, Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan
dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib!
Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit.
Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya
bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan. Tidak cukup sampai di situ.
Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali
kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media
Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah
sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya.
Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya
esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga
memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun,
akan dia tanggung. TUHAN Maha Besar!
Tuhan YESUS mengasihi Anda..
sumber:
BLESSING FAMILY CENTRE SURABAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar