Sebuah biara kontemplatip. Satu di antara para rahib itu melanggar aturan biara dan menurut norma yang dipakai dalam biara tersebut sang rahib itu dianggap telah melakukan dosa berat , dan karenanya harus diberi hukuman yang setimpal.
Semua anggota biara setuju untuk meminta seorang rahib tua yang dikenal saleh dalam komunitas itu untuk memberikan putusan hukuman yang terakhir. Semula sang rahib tua dan saleh ini menolak menjatuhkan hukuman, namun karena terus didesak oleh anggota komunitas dan juga karena dituntut oleh kaul ketaatannya, maka ia pun dengan berat hati menerima tugas yang tidak ringan untuk mengadili sama saudaranya tersebut.
Hari pengadilan tiba. Sang rahib saleh dan tua itu datang memasuki ruang pertemuan tempat penjatuhan hukuman, di mana telah berkumpul semua rahib dalam komunitas tersebut. Sang rahib saleh sambil memikul sebuah ember penuh berisi pasir memasuki ruangan. Namun bagian dasar dari ember itu sengaja diberi lubang sehingga banyak pasir jatuh berceceran di lantai.
“Aku datang untuk mengadili sama saudaraku sendiri.” Kata sang rahib saleh itu. “Dosaku sendiri berceceran dalam hidupku seperti pasir yang jatuh dari ember ini. Namun karena mata hatiku telah menjadi buta, maka aku tak mampu menyadari situasi diriku sendiri. Lebih dari itu aku masih harus menghukum sama saudaraku yang juga bersalah sama seperti diriku.” Semua yang ada dalam ruangan itu kini menundukan kepala, karena mereka tahu bahwa mereka harus pertama-tama mengadili diri sendiri sebelum mengadili orang lain. Mereka menyadari tak satupun di antara mereka lebih baik dari sama saudara yang kedapatan bersalah tersebut.
"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yoh 8:7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar