Menakjubkan! Seniman
ini membuat Tank dari bahan kayu. Begitu detail dan rumit, namun dapat
diselesaikan dengan baik. Tidak jelas apakah tank ini dapat berjalan
sebagaimana tank sungguhan. Bisa atau tidak bisa jalan, karya seni ini sungguh
sangat menarik dan unik. Tidak semua orang mampu menuangkan ide-idenya menjadi
karya nyata dengan bahan yang berbeda, kecuali profesional.
Riwayat Hidup & Pelayanan Thomas Ball Barratt
Thomas Ball Barratt lahir di Albaston, Cornwall, pada 22 Juli
1862. Ayahnya, seorang penambang, berimigrasi ke Norwegia pada 1867. Orang tua
Barratt dan kakeknya, Kapten George Ball, adalah pengikut setia aliran Metodis
John Wesley.
Ibunya bertobat pada usia 18 tahun, setelah berdoa selama 2 jam,
dan yakin bahwa dia sudah diselamatkan. Ayahnya diselamatkan saat ia berusia 20
tahun. Keluarganya sangat terkenal di lingkungannya, baik dalam bidang agama
maupun politik.
Kedua orang tuanya mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, dan
membangun gereja serta mengadakan persekutuan-persekutuan di rumah mereka di
Inggris dan Norwegia, setelah mereka pindah ke sana. Mereka pindah karena ayah
Thomas Ball ditawari perusahaannya posisi manajer pertambangan di Norwegia.
Barratt merasakan tangan Tuhan menyentuh hidupnya saat dia berusia
9 tahun, tetapi dia tidak menerima Yesus sebagai Juru Selamat hingga berusia 12
tahun. Dia percaya Tuhan turut campur dalam keputusan orang tuanya memilih
pindah ke Norwegia daripada ke Spanyol dengan posisi yang sama, karena jika
tidak demikian, jalan hidupnya akan jauh berbeda.
Pada usia 11 tahun, dia kembali ke Inggris untuk mengikuti
pendidikan formal. Dia juga mengikuti Wesleyan College di Taunton,
Sommersetshire. Di Taunton, seorang teman membimbing dia kepada Kristus, dan
setahun kemudian, kebangunan rohani terjadi, di mana saat itu kira-kira dua
ratus siswa, serta sejumlah penduduk kota, diselamatkan.
Dia kembali ke rumahnya di Norwegia pada 1878, di mana dia belajar
seni pada seorang seniman terkenal dan belajar musik pada Edvard Greig. Pada
tahun yang sama, dia memulai sekolah minggu di rumahnya untuk orang-orang yang
bekerja di pertambangan.
Selain dari orang tuanya, dia juga dipengaruhi oleh
khotbah-khotbah John Wesley dan Dwight L. Moody. Saat berusia 17 tahun, dia
membaca salah satu khotbah Moody di sebuah persektuan wanita yang
diselenggarakan oleh ibunya, dan kemudian berdoa. Banyak orang yang datang
dalam persekutuan itu diselamatkan.
Pada usia 18 tahun, Barratt menyiapkan khotbah pertamanya, setelah
menghabiskan waktu untuk bermain musik rohani, bersaat teduh, dan berdoa.
Catatan di jurnalnya menunjukkan bahwa dia mendaki ke puncak gunung dan
mengkhotbahkan khotbah pertamanya itu kepada angin.
Barratt juga aktif berkhotbah tentang keselamatan di pertambangan
tempat dia bekerja sebagai asisten ayahnya. Pada tahun yang sama, Barratt
membagikan khotbah pertamanya yang tanpa persiapan. Khotbah Moody terus menjadi
dasar dari apa yang diajarkannya, tetapi dia tidak memiliki rencana yang pasti
untuk menjadi pengkhotbah. Dia berencana untuk menjadi pemusik atau seniman.
Namun, pada tahun 1882, saat dia hampir berusia 20 tahun, Barratt
lulus ujian di Methodish Episcopal Quarterly Conference, yang diselenggarakan
di Bergen, Norwegia, untuk menjadi seorang "pengkhotbah lokal",
sebutan untuk orang awam yang berbicara di depan sekelompok kecil orang dan
gereja atau menggantikan pendeta yang benar-benar sudah ditahbiskan.
Pada saat itu, salah satu hiburan baginya adalah menerjemahkan
buku- buku bahasa Inggris ke bahasa Norwegia -- dia menuturkan kedua bahasa itu
dengan fasih -- dan bertarung dengan beruang. Beruang itu kalah, menurut
catatan pada waktu itu! Selain itu, dia juga menulis untuk merespons serangan
terhadap aliran Metodis yang ditulis oleh seorang pendeta dari denominasi lain.
Di beberapa negara, aliran Methodis pada waktu itu masih sekontroversial aliran
Pentakosta pada abad dua puluh.
Pada Januari 1884, dia mengkhotbahkan khotbahnya yang berjudul
"Choose Ye This Day Whom Ye Will Serve" (Pilih Sekarang Siapa yang
Akan Anda Layani), yang memicu suatu kebangunan rohani yang berlangsung selama
berminggu-minggu di gunung tempat mereka tinggal.
Dia menikahi Laura Jakobsen pada Mei 1887, dan mulai menjadi
pendeta di sebuah gereja di Christiania, tempat anak pertama mereka lahir.
Barrat ditahbiskan sebagai diakon pada 1889, dan pada 1891, dia menjadi penatua
di Methodist Episcopal Church, Norwegia. Setelah itu, dia menjadi pendeta di
beberapa gereja.
Pada ulang tahunnya yang ke-37, seniman musik yang tidak berencana
untuk menjadi pengkhotbah ini telah mengadakan lebih dari lima ribu
persekutuan. Pada tahun 1902, dia mendirikan Oslo City Mission, dan pada tahun
1904, dia menjadi editor buletin organisasi ini, yaitu "Byposten". Kedua
orang tuanya telah meninggal pada saat itu, tetapi jauh sebelum mereka
meninggal, mereka pasti sudah sangat bangga kepadanya.
Barratt mengunjungi Swedia, Switzerland, Inggris, Belanda, dan
bahkan India untuk menyampaikan pesan tentang baptisan Roh Kudus. Jadi, Barratt
tidak hanya mendirikan gerakan Norwegian Pentecostal, tetapi juga menjadi tokoh
kunci dalam pendirian gereja-gereja Pentekosta di seluruh Eropa.
Barratt membawa pengetahuan tentang baptisan Roh Kudus dari
Amerika kepada para pengkhotbah terkemuka di Eropa, saat dia bisa saja kembali
ke Norwegia dan menguburnya. Ke mana pun dia pergi, dia menanamkan berkat
Pentakosta. Secara langsung atau tidak, dia telah menyentuh hidup banyak pionir
rohani lainnya. (t/Ratri).
sumber: biokristi.sabda.org
Riwayat Hidup & Pelayanan Martin R. DeHaan
"Apakah Anda sadar bahwa kedatangan
Kristus yang kedua dalam Perjanjian Lama lebih banyak disinggung daripada
kedatangan pertama-Nya yang dalam keadaan hina? Itu karena tanpa kedatangan-Nya
yang kedua, kedatangan yang pertama akan menjadi hampa, gagal, sia-sia, dan
tidak sempurna."
Martin R. DeHaan lahir di Zeeland, Michigan, anak dari seorang
tukang sepatu yang beremigrasi dari Belanda. Dia lulus dari Hope College di
Holland, Michigan dan University of Illinois College of Medicine (Universitas
Kedokteran Illinois).
Pada tahun 1914, dia menikah dan segera menjadi seorang dokter
yang sukses di Michigan bagian barat.
Saat Dr. DeHaan mendapat panggilan untuk melayani, dia
meninggalkan praktik kedokterannya dan menyelesaikan pelatihan di Western
Theological Seminary di Holland, Michigan.
Dia menggembalakan dua gereja di Grand Rapids yang bertumbuh pesat
karena khotbahnya yang penuh kuasa dan kemampuannya menjelaskan isi Alkitab
dengan sederhana dan mudah dimengerti.
Dia mulai menjalankan kelas-kelas Alkitab dalam skala besar.
Sebagai hasil pertumbuhan dari salah satu kelasnya di Detroit, Allah
mengembangkan kelas Alkitabnya itu menjadi kelas Alkitab lewat media radio pada
tahun 1938. Radio Bible Class (RBC) berkembang pesat dan segera disiarkan melalui
dua jaringan nasional.
Selama lebih dari seperempat abad, Dr. DeHaan menyaksikkan siaran
radio itu berkembang dari stasiun radio lokal berdaya lima puluh watt menjadi
sebuah pelayanan yang disiarkan melalui lebih dari enam ratus stasiun radio
terpilih di seluruh dunia. Selama masa itu, dia menjadi pembicara di banyak
konferensi Alkitab serta menulis 25 buku dan banyak brosur. Dia juga menyunting
dan menerbitkan renungan bulanan, Our
Daily Bread.
Dr. DeHaan meninggal pada tanggal 13 Desember 1965 karena cidera
serius akibat kecelakaan mobil pada bulan Juli. Dia tidak kunjung sembuh dari
cidera itu karena komplikasi jantung yang dideritanya. Kekuatannya
berangsur-angsur berkurang dan dia meninggal saat sedang beristirahat di
rumahnya. (t/Dianpra).
sumber: biokristi.sabda.org
Mulut Palsu Yang Bisa Bicara
Jepang – Mulut ini bukan sungguhan. Tapi bisa bicara
seperti mulut manusia.
Profesor Sawada dari Universitas Kawaga, Jepang menciptakan robot
mulut yang bisa bicara. Ia mempertunjukan hasil karyanya itu pada ajang
Robotech 2011, baru-baru ini.
Robot buatannya tidak hanya menghasilkan suara yang diputar dari
hasil rekaman, melainkan juga menciptakan gerak mulut yang alami, mirip mulut
manusia.
Robot ini bisa melakukan gerak mulut berdasarkan suaranya, karena
dibuat dari organ tiruan yang dibangun di dalamnya. Organ tiruan itu antara
lain paru-paru, tenggorokan, serta sistem pita suara tiruan.
Saat ini, robot ciptaannya baru berbentuk mulut saja, jadi agak
menyeramkan. Menurut ubergizmo, hasil akhir robot ini adalah figur wajah utuh.
Mungkin akan bagus jika robot mulut ini dipadukan dengan robot Showa Hanako 2.
sumber : jelajahunik.blogspot.com
Demi Cinta, Liu Memahat 6000 Lebih Anak Tangga
Liu adalah laki-laki China yang selama lebih
dari setengah abad telah memahat 6000 lebih anak tangga yang diperuntukkan bagi
istrinya.
Dia bekerja seorang diri untuk membuat
"tangga cinta" agar bisa digunakan oleh istrinya untuk turun ke bawah
dari daerah gunung tempat mereka tinggal.
Selama lebih dari lima puluh tahun yang
lalu, Liu Guojiang, seorang pemuda berusia 19 tahun, jatuh cinta dengan seorang
janda yang jauh lebih tua usianya bernama Xu Chaoqin, usianya 29 tahun.
Pada masa itu seorang muda yang jatuh cinta kepada wanita yang usianya lebih tua dianggap tidak bisa diterima dan malahan dianggap immoral.
Untuk menghindari gosip, kedua pasangan itu tinggal di sebuah gua di desa Jiangjin di Selatan ChongQing.
Pada awalnya mereka tidak memiliki apa-apa, tidak ada listrik ataupun makanan.
Mereka harus makan rumput dan akar-akaran yang mereka temukan di hutan, dan Liu membuat lampu kerosene untuk mereka gunakan di tempat mereka tinggal.
Pada masa itu seorang muda yang jatuh cinta kepada wanita yang usianya lebih tua dianggap tidak bisa diterima dan malahan dianggap immoral.
Untuk menghindari gosip, kedua pasangan itu tinggal di sebuah gua di desa Jiangjin di Selatan ChongQing.
Pada awalnya mereka tidak memiliki apa-apa, tidak ada listrik ataupun makanan.
Mereka harus makan rumput dan akar-akaran yang mereka temukan di hutan, dan Liu membuat lampu kerosene untuk mereka gunakan di tempat mereka tinggal.
Memasuki tahun kedua mereka tinggal di
gunung, Liu memulai memahat tangga sehingga istrinya dapat menuruni pegunungan
dengan mudah.
Usahanya itu dilakukannya selama lima puluh tahun!
Setengah abad kemudian, di akhir 2001, sebuah kelompok petualang yang mengeksplorasi hutan dan mereka terkejut ketika mereka menemukan kedua pasangan yang sudah tua ini bersama 6000 anak tangga yang dipahat dengan tangan.
"Orang tua saya saling mencintai satu dengan yang lain, dan mereka telah hidup menyendiri selama 50 tahun tanpa pernah terpisah satu hari pun", ujar Liu Ming Sheng, salah seorang dari ketujuh anaknya.
"Dia telah memahat lebih dari 6000 lebih anak tangga selama bertahun-tahun untuk kenyamanan ibuku, sekalipun dia tidak turun gunung sejauh itu."
Pasangan itu telah hidup bersama selama lebih dari 50 tahun sampai Liu yang waktu itu berusia 72 tahun,jatuh ketika kembali dari pekerjaannya di kebun.
Xu duduk dan bedoa bagi suaminya dan akhirnya suaminya meninggal di pangkuannya.
Liu, saking cintanya dengan Xu, tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan genggaman tangannya pada tangan istrinya bahkan setelah dia meninggal dunia.
Engkau berjanji untuk menjagaku, engkau akan selalu bersamaku sampai hari aku mati, kini engkau meninggalkan aku lebih dulu, bagaimana saya bisa hidup tanpamu?
Xu mengulang-ulang ucapannya ini dan menyentuh peti mati suaminya dengan air mata menetes di pipinya.
Tahun 2006, kisah mereka menjadi salah satu dari 10 kisah cinta dari China yang dikoleksi oleh Chinese Women Weekly.
Pemerintah setempat memutuskan untuk menempatkan "Anak Tangga Cinta" itu di museum sehingga kisah cinta mereka tetap dikenang selamanya. ***
Usahanya itu dilakukannya selama lima puluh tahun!
Setengah abad kemudian, di akhir 2001, sebuah kelompok petualang yang mengeksplorasi hutan dan mereka terkejut ketika mereka menemukan kedua pasangan yang sudah tua ini bersama 6000 anak tangga yang dipahat dengan tangan.
"Orang tua saya saling mencintai satu dengan yang lain, dan mereka telah hidup menyendiri selama 50 tahun tanpa pernah terpisah satu hari pun", ujar Liu Ming Sheng, salah seorang dari ketujuh anaknya.
"Dia telah memahat lebih dari 6000 lebih anak tangga selama bertahun-tahun untuk kenyamanan ibuku, sekalipun dia tidak turun gunung sejauh itu."
Pasangan itu telah hidup bersama selama lebih dari 50 tahun sampai Liu yang waktu itu berusia 72 tahun,jatuh ketika kembali dari pekerjaannya di kebun.
Xu duduk dan bedoa bagi suaminya dan akhirnya suaminya meninggal di pangkuannya.
Liu, saking cintanya dengan Xu, tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan genggaman tangannya pada tangan istrinya bahkan setelah dia meninggal dunia.
Engkau berjanji untuk menjagaku, engkau akan selalu bersamaku sampai hari aku mati, kini engkau meninggalkan aku lebih dulu, bagaimana saya bisa hidup tanpamu?
Xu mengulang-ulang ucapannya ini dan menyentuh peti mati suaminya dengan air mata menetes di pipinya.
Tahun 2006, kisah mereka menjadi salah satu dari 10 kisah cinta dari China yang dikoleksi oleh Chinese Women Weekly.
Pemerintah setempat memutuskan untuk menempatkan "Anak Tangga Cinta" itu di museum sehingga kisah cinta mereka tetap dikenang selamanya. ***
Manusia-Manusia Tertua Pencetak Prestasi Dunia
71 Tahun – Pendaki
Mt Everest Tertua
Manusia tertua – laik-laki – yang pernah mendaki puncak Everest
adalah orang Jepang bernama Katsusuke Yanagisawa (lahir 20 Maret 1936), seorang
guru, yang memanjat bagian utara dari puncak tertinggi dunia
itu bersama tim Himex pada tanggal 22 Mei 2007 dalam usianya ke 71 tahun 63
hari.
100 Tahun – Peterjun
Tandem Wanita Tertua
Estrid Geertsen, wanita berkebangsaan Denmark (lahir 1 Agustus
1904), membuat rekor terjun tandem pada tanggal 30 September 2004 dari
ketinggian 4000 meter di atas kota Roskilde, Denmark, pada usianya yang ke 100
tahun 60 hari.
98 Tahun – Manusia
Tertua (Pria) yang Menyelesaikan Lari Maraton
Manusia tertua yang berhasil menyelesaikan lomba lari maraton
sejauh 26 mil (42 km) adalah pelari Yunani bernama Dimitrion Yordanidis. Jarak
sejauh itu diselesaikannya dalam waktu 7 jam 33 menit pada perlombaan lari
maraton di Athena, Yunani pada tanggal 10 Oktober 1976 saat dia berusia 98
tahun.
71 tahun – Ballerina
Tertua
Charin Yuthasastrkosol, wanita berkewarganegaraan Amerika yang
lahir di Thailand 30 Desember 1930, mulai belajar ballet baru pada usia 47
tahun. Setelah itu dia rutin melakukan pertunjukan ballet dan yang terakhir
dilakukannya di depan duta besar Thailand untuk Amerika Sakthip Krairikish di
Albuquerque, New Mexico, USA pada tanggal 21 Juli 2002 saat usianya menginjak
71 hari 203 hari.
66 Tahun – Peski
Tertua di Dua Kutub
Peski tertua di dunia baik di kutub
utara dan selatan adalah laki-laki berkebangsaan Jerman Norbert H. Kern (lahir
26 Juli 1940) yang melakukan olahraga ski di kutub selatan pada tanggal 18
Januari 2007 dan kutub utara tanggal 27 April 2007 saat usianya mencapai 66
tahun 275 hari.
66 Tahun – Perempuan Melahirkan Tertua
Ibu tertua di dunia adalah Maria del Carmen Bousada Lara, asal
Spanyol yang lahir pada tanggal 5 Januari 1940, yang melahirkan bayi melalui
operasi caesar pada saat usianya telah mencapai 66 tahun 358 hari. Tidak
tanggung-tanggung Nenek ini melahirkan bayi kembar, Christian dan Pau, di rumah
sakit Sant Pau, Spanyol pada tanggal 29 Desember 2006. Inilah akibatnya jika
kakek lupa pake sarung, hehe.
746 Tahun –
Kombinasi Paduan Suara (Koor) Tertua
Kombinasi
umur 10 penari dari tur koor kelompok Tivoli Lovelies (Australia), asal Melbourne, Victoria, Australia
ini berjumlah 746 tahun 147 hari saat mereka tampil di pada tanggal 12 Oktober
2004.
Manusia Yang Memiliki Ekor
Bukan suatu rekayasa,
jika sebagian manusia sebenarnya ada yang memiliki ekor. Toh
kejanggalan-kejanggalan ini sering kita jumpai di dunia ini; misalnya kembar
siam, manusia yang memiliki jari tangan atau kaki lebih banyak dari normal,
wajah yang ditumbuhi bulu lebat, dan lain sebagainya. Kelangkaan seperti ini
memang aneh, tapi hanya menimpa sebagian kecil manusia saja.
Menuai Cinta
Sebuah cerita dari Tiongkok.
Di
sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba
yang sangat lugu - begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.
Suatu
kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk
menagih hutang para penduduk di sana.
"Hutang
mereka sudah jatuh tempo," kata sang tuan.
"Baik,
Tuan," sahut si bodoh. "Tetapi nanti uangnya mau diapakan?"
"Belikan
sesuatu yang aku belum punyai," jawab sang tuan.
Maka
pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh
menjalankan tugasnya; mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para
penduduk kampung.
Para
penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau
panjang. Akhirnya si bodoh berhasil jua menyelesaikan tugasnya. Dalam
perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya, "Belikan sesuatu yang belum
aku miliki."
"Apa,
ya?" tanya si bodoh dalam hati.
"Tuanku
sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?"
Setelah
berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke
perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya
tadi kepada para penduduk.
"Tuanku,
memberikan uang ini kepada kalian," katanya.
Para
penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.
Ketika
si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan
geleng-geleng kepala.
"Benar-benar
bodoh," omelnya.
Waktu
berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka; pergantian pemimpin karena pemberontakan
membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu. Belum lagi bencana banjir yang
menghabiskan semua harta bendanya. Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan
melarat. Dia terlunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta.
Ketika
tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan
riang dan hangat; mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.
"Siapakah
para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati
menolongku?" tanya sang tuan.
"Dulu
tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung
ini," jawab si bodoh.
"Tuan
berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai.
Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu. Satu-satunya hal
yang belum tuanku punyai adalah cinta di hati mereka. Maka saya membagikan uang
itu kepada mereka atas nama tuan.
Sekarang
tuan menuai cinta mereka."
Selalu Indah Pada Waktunya
Oleh Andy F. Noya.
Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya
bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai
jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya
hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak
saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker
payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya.
Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya
untuk proses operasi tersebut.Soal persetujuan, relatif mudah.
Sejak awal saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi
kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan tentang risiko
kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya pahami. Kakak saya
juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk itu.
Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah
soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya
sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab
jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus
menghidupi keluarga dengan tiga anak. Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup
tanpa suami.
Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri.
Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat
bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga
mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai
pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.
Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita
kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba
menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan
ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya
selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya.
Seandainya kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan
kecurigaannya pada tanda-tanda awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi
lain. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia
memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi
tidak tertolong lagi.
Saya menyesali tindakan kakak saya yang
"menyembunyikan" penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan --
setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa
memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia
sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin
menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya. Namun ketika keadaan
yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah satu yang
harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan dokter
untuk biaya operasi.
Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya
tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat
dokter menganjurkan operasi. "Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak
ada jaminan saya akan terus hidup," ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu,
saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia
tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.
Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan
jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya
mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. "Tuhan, sebagai manusia,
akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi
hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka
jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini." Setelah
itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.
Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai
perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal
biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa
saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan
yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak
cukup kuat sehingga masih saja gundah.
Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di
ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan
public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi
pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan
terpaksa menelepon saya karena "keadaan darurat". Pembicara yang
seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat
menggantikannya.
Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan
sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu
sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi,
katanya, para peserta puas.
Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara
lagi untuk acara-acara mereka yang lain. Sebelum meninggalkan tempat workshop,
teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak
terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat
menyelamatkan sahabat saya itu.
Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya. Di
tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak
menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah
seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan
hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam hari baru
saya berani membuka amplop tersebut.
Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum
di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi
kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. TUHAN, Engkau memang luar biasa.
Engkau Maha Besar. Dengan cara-MU, Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan
dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib!
Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit.
Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya
bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan. Tidak cukup sampai di situ.
Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali
kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media
Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah
sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya.
Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya
esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga
memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun,
akan dia tanggung. TUHAN Maha Besar!
Tuhan YESUS mengasihi Anda..
sumber:
BLESSING FAMILY CENTRE SURABAYA
Ditolong Oleh Buaya
Pada masa perang dunia II, ada sebuah
metode menarik yang diterapkan dalam sebuah kamp pelatihan tentara di Amerika
Serikat. Metode yang pertama kali diterapkan di Florida ini disebut dengan
“gator aid” atau pertolongan buaya. Materi pelatihan yang diberikan kepada
prajurit itu sebenarnya sama saja dengan kebanyakan materi-materi di tempat
pelatihan lainnya, di dalamnya termasuk berlari melewati daerah yang penuh
rintangan.
Namun yang membedakan adalah pada akhir tes yang tujuannya
menguji daya tahan, para prajurit itu harus bergelayut pada seutas tali dan
kemudian melintasinya. Tali itu sendiri dipasang diatas sebuah kolam yang lebar
namun tidak terlalu dalam.
Di bawah sinar matahari, permukaan kolam sungguh
berkilauan, sangat menarik hati sehingga banyak prajurit hanya menyebrang
separuh kolam lalu menceburkan diri ke dalamnya dan kemudian berenang sampai ke
seberang kolam. Tiba-tiba seorang Letnan yang berani memasukkan seekor buaya
besar ke dalamnya. Sejak itu, setiap prajurit yang hendak melompat sudah
mengambil ancang-ancang hampir lima meter dari tepi kolam dan melintasi kolam
yang lebar itu tanpa mau menceburkan diri ke dalamnya dan akhirnya mereka
mendarat di seberang dengan bergulingan.
Demikian pula sifat kita sebagai orang Kristen, terkadang
harus dipacu oleh “dorongan” situasi yang tidak kita harapkan. Tanpa koreksi
penuh kasih dari Allah dan disiplin yang sungguh-sungguh, daya tahan rohani dan
kemampuan kita untuk menanggung segala sesuatu tak akan pernah bertumbuh. Jika
Tuhan tidak mengizinkan kita mengalami keadaan sulit, kita akan segera terjebak
dalam perasaan puas diri dan terlalu percaya diri.
Saat ini, jika Anda sedang mengalami kepedihan karena
keadaan yang menekan, ingatlah perkataan Daud, “Bahwa aku tertindas itu baik
bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu” (Mazmur 119:71).
Tantangan dalam hidup bukanlah untuk menghancurkan kita
melainkan mengarahkan kita kepada Allah....amin
Kristus
Jawaban
Cerita Seorang Dokter Dari Afrika
Pada suatu malam, saya berusaha keras untuk menolong seorang ibu
yang akan melahirkan; namun setelah melakukan segala upaya, ibu itu akhirnya
mati dan meninggalkan kami dengan bayi prematur yang baru dilahirkannya dan
seorang anak perempuannya yang berusia dua tahun. Kami tahu, akan sangat
kesulitan untuk memastikan bayi itu untuk bisa hidup karena kami tidak
mempunyai inkubator .
Kami juga tidak mempunyai fasilitas untuk memberi makan bayi prematur. Walaupun
kami tinggal di daerah tropis, namun pada malam hari, cuacanya seringkali
menjadi sangat dingin yang disertai angin kencang.
Seorang suster mencari sebuah kotak kecil lalu membungkus bayi itu dengan kain
wol dan meletakkannya di dalam kotak kecil tersebut. Seorang lagi menyalakan
api dan memasukkan air panas ke botol air panas yang terbuat dari bahan karet.
Selang beberapa saat kemudian, dia kembali dan dengan suara yang putus asa
memberitahu saya bahwa botol air panas yang terbuat dari karet itu telah pecah.
(Di iklim tropis, barang buatan karet memang cenderung mengeras).
"Dan itu adalah botol air panas kita yang terakhir" kata suster itu.
Tidak ada lagi yang dapat kami lakukan karena tidak ada tempat yang menjual
barang-barang demikian di hutan tempat kami tinggal.
"Baiklah," saya berkata, "tempatkan bayi itu di dekat unggun api
dan tidur di antara bayi dan pintu agar angin tidak mengenai bayi itu. Tugas
Anda adalah untuk memastikan bayi itu hangat sepanjang malam."
Pada keesokan harinya, sama seperti hari-hari lainnya, saya bergabung dengan
anak-anak di panti asuhan yang senang untuk berkumpul dan berdoa bersama saya.
Saya memberikan beberapa pokok-pokok doa untuk didoakan dan memberitahu mereka
tentang bayi prematur yang lahir tadi malam. Saya menjelaskan masalah yang kami
hadapi untuk memastikan bayi itu hangat, saya menyinggung tentang botol air
panas, dan bahwa jika bayi itu masuk angin, dia bisa meninggal. Saya juga
memberitahu mereka bahwa anak perempuan berusia dua tahun itu menangis terus
karena ibunya sudah tidak ada lagi.
Saat kami sedang berdoa, seorang anak berusia 10 tahun yang bernama Ruth,
memanjatkan doa yang sederhana dan singkat yang menjadi ciri khas anak-anak di
Afrika. "Tolonglah Tuhan, kirimlah botol air panas hari ini karena kalau
besok tidak ada gunanya, karena bayi itu akan meninggal, jadi kirimlah pada
siang hari ini."
Di dalam hati, saya berpikir betapa beraninya dia berdoa demikian. Ruth
menyambung dengan berkata, "Tuhan, sekalian saja kirimkan boneka pada anak
yang mamanya meninggal supaya dia tahu bahwa Tuhan mengasihi dia."
Sebagaimana lazimnya berdoa dengan anak kecil, saya tidak tahu apakah saya
dapat dengan jujur berkata, "Amin"? Karena sejujurnya saya tidak
percaya bahwa Tuhan dapat melakukan hal tersebut.
Tentu saja, saya tahu bahwa Tuhan dapat melakukan segala sesuatu; bukankah itu
yang dikatakan oleh Kitab Suci? Tapi bukankan ada batasannya? Satu-satunya cara
Tuhan dapat menjawab doa ini adalah dengan mengirimkan paket dari tanah air
saya. Saya sudah berada di Afrika selama hampir empat tahun, dan saya belum
pernah dikirimkan sesuatu pun dari keluarga saya.
Lagipula, sekiranya ada yang mengirimkan paket kepada saya, siapa yang akan
memasukkan botol air panas? Saya tinggal di kawasan tropis!
Pada siang hari, saat saya sedang mengajar di sekolah perawat, ada yang mencari
saya dan menyampaikan pesan bahwa ada mobil yang datang di depan rumah saya.
Setiba saya ke rumah, mobil tersebut telah pergi tapi saya melihat disitu ada
sebuah paket seberat 10 kg. Saya langsung merasakan air mata menetes di pipi
saya. Saya tidak dapat membuka paket itu sendirian, lalu saya mengirim orang
untuk memanggil anak-anak dari panti asuhan. Setelah mereka datang, kami
bersama-sama membuka paket itu.
Dengan sangat berhati-hati mereka membuka paket itu supaya kertasnya tidak
robek, saya dapat merasakan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka.
Sekitar 30 sampai 40 pasang mata sedang terfokus pada apa yang ada di dalam
paket itu.
Di dalamnya ada baju kaos yang berwarna-warni. Selain itu terdapat perban untuk
pasien kusta, dan anak-anak itu terlihat tidak berminat. Lalu ada juga kismis
yang akan saya buatkan roti di akhir pekan nanti. Lalu saya memasukkan tangan
saya ke dalam paket dan saya dapat merasakan... apakah memang seperti yang saya
pikirkan? Iya, saat saya menariknya keluar, saya melihat satu botol air panas
yang baru. Saya langsung menangis.
Saya tidak meminta Tuhan untuk mengirimnya; saya tidak sesungguhnya percaya
bahwa Dia dapat melakukannya. Ruth berada di bagian depan. Dia langsung maju ke
depan dan berkata dengan suara yang keras, "Jika Tuhan mengirimkan botol
itu, Dia pasti mengirimkan boneka juga!"
Ruth langsung menggeledah paket sampai ke bagian bawah, dan dia mengeluarkan
satu boneka kecil yang sangat cantik. Matanya bersinar-sinar! Dia tidak pernah
ragu!
Memandang pada saya, Ruth bertanya, "Apakah saya bisa pergi bersama Anda
dan memberikan boneka ini pada anak itu, supaya dia tahu bahwa Tuhan mengasihi
dia?"
"Tentu saja," saya menjawab!
Paket itu sudah dikirim lima bulan sebelumnya oleh kelas Sekolah Minggu saya.
Pemimpinnya mendengar dan menaati dorongan dari Tuhan untuk mengirim botol air
panas, sekalipun ke daerah tropis.
Dan salah seorang anak perempuan telah memasukkan boneka untuk seorang anak di
Afrika lima bulan sebelumnya, yang menjawab doa seorang anak berusia 10 tahun
yang meminta agar dikirimkan "siang itu juga."
"Sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya." (Yesaya 65:24).
Amin.~ (Sumber : RR)
Saya Berdoa, Tuhan Kabulkan
“Bapak, maulah bapak berdoa untuk saya….”
Tanya seorang perempuan kepada pendeta Yongky.
Pendeta Yongky baru selesai memimpin ibadah KKR, dan ia baru pertama kali
melayani di Gereja kecil itu.
Sore yang kelabu karena mendung yang siap tertumpah ke muka bumi.
“Apakah yang akan didoakan anakku…” tanya pendeta Yongky sambil menatap
perempuan yang terlihat lesu dan gelisah. Terlihat sesekali ia menghapus
keringat yang membasahi keningnya, dan nampak ia berusaha menutupi kegelisahan
hatinya dengan menundukkan kepala dan meremas jari jemarinya.
“Tolong doakan saya dapat jodoh, bapak… Umur saya sudah 32 tahun… dan sampai
sekarang saya belum dapat jodoh….
Beberapa kali saya menjalin hubungan dengan seorang lelaki, namun selalu gagal….
Saya sudah khawatir dengan usia saya, orang tua dan keluarga sudah terus
mendesak saya untuk segera menikah…
Saya ingin menikah, tapi dengan lelaki yang benar-benar saya cintai dan
mencintai saya…. Dan saya menginginkan lelaki yang takut Tuhan.
Sungguh bapak, walaupun usia saya sudah tidak muda lagi, saya benar-benar
menginginkan lelaki yang menjadi suami saya nanti adalah lelaki yang baik dan
pilihan hati saya. Saya tidak ingin menikah hanya karena tuntutan usia, dan
kemudian hanya akan berakhir dengan kepahitan….
Saya ingin menikah sekali untuk selamanya, sampai Tuhan memisahkan kami dalam
kematian….
Saya sudah berdoa. Namun sampai sekarang jodoh itu tidak kunjung datang….. Oh
tolonglah saya bapak…” airmata bercucuran dari mata kuyu itu.
Pendeta Yongky mengambil beberapa lembar kertas putih dan sebuah pena dan
menyerahkannya pada perempuan itu.
“Anakku…, apakah kamu percaya Tuhan telah mendengar doamu dan mengabulkannya…?”
tanya pendeta Yongki dengan tatap mata teduh.
“Ya … bapak, saya percaya….” Sahut perempuan itu dengan tegas. Nada suara tegas
dan pancaran mata bersemangat seolah ada bintang-bintang disana semakin
menegaskan keyakinannya.
“Siapa namamu anakku…?”
“Maya…, bapak”
“Maya, sekarang kamu tuliskan di kertas ini, ciri-ciri lelaki yang kamu
inginkan untuk menjadi suamimu. Bagaimana perawakannya, warna kulitnya, warna
rambutnya, bentuk parasnya, suaranya, pekerjaannya. Pokoknya tuliskan semua
yang jadi impianmu tentang lelaki yang akan menjadi suamimu itu….” Saran
pendeta Yongky.
Maya menuruti nasihat itu, dan dengan serius dan bersemangat menuliskan
gambaran lelaki impiannya.
“Anakku, dalam kitab Ibrani 11:1 dinyatakan bahwa Iman adalah dasar dari segala
sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Kamu berdoa untuk mendapatkan jodoh seperti yang kamu tuliskan di kertas itu
dengan ciri-ciri yang begitu lengkap, dan kamu percaya bahwa itu sudah
diberikan Tuhan padamu. Sesungguhnyalah apa yang kamu imani itu sudah diberikan
Tuhan, ia akan hadir dan kamu terima pada saat yang paling tepat untukmu.
Jadi kamu harus sabar. Teruslah bertekun dalam doa, sampai doa itu dijawab oleh
Tuhan.
Tempelkanlah kertas yang telah kamu tulis itu ditempat yang paling sering kamu
lihat, misalnya di kaca riasmu.
Bila kamu membacanya, maka secara nyata akan tergambar dengan jelas dalam
pikiranmu lelaki idamanmu, dan naikkan permohonanmu dalam doa pada Tuhan, dan
ucapkan terimakasih, dan amini setiap doa yang kamu panjatkan itu.”
“Ya…. Bapak…”
“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu,
mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Demikian
bunyi Firman Tuhan dalam kitab Yohanes 15:7”.
“Terimakasih bapak….” Kata Maya dengan mata berbinar-binra karena rasa bahagia.
“Tuhan Yesus memberkatimu selalu, anakku….” Kata pendeta Yongky setelah mereka
sama-sama berdoa.
Saudaraku terkasih,
Peristiwa itu sudah dua tahun yang lalu, dan pendeta Yongky nyaris tidak
mengingatnya lagi, sampai saat ia kembali melayani di Gereja kecil di atas
bukit itu, diantara jemaat yang menyalaminya, muncul seorang perempuan yang
menggendong seorang bayi mungil yang cantik dan lucu. Bayi mungil itu nampak
pulas dalam dekapannya.
“Bapak….., saya Maya…. Bayi ini putri kami….namanya Maria. Dan ini suami
saya….Joshua.” dengan erat digenggamnya jemari pendeta Yongky, dan dengan
kegembiraan yang penuh diperkenalkannya suaminya, seorang lelaki gagah dengan
wajah dan senyum ramah simpatik.
Bayi mungil dipelukannya bagai ikut tersenyum dengan kegembiraan dan
kebahagiaan ayah bundanya.
“Bapak ingat kan, saya yang dua tahun lalu datang pada bapak dalam
keputusasaan, dan bapak menasihatkan saya agar berdoa dengan tidak
putus-putusnya untuk jodoh yang saya impikan dan saya tuangkan di kertas…
Tuhan telah mengabulkan doa dan permohonan saya…. Lelaki dari surga itu telah
dikirimkan pada saya, dan ia melebihi apa yang saya tuliskan di kertas itu …”
kata Maya dengan wajah penuh senyum, sementara suaminya menatapnya dengan mata
penuh cinta.
Maya menceritakan bagaimana ia mengenal suaminya. Seorang pemuda dari kota yang
baru menyelesaikan pendidikannya dan mengabdikan dirinya di kota kecil dimana
Maya tinggal, yang kemudian aktif di organisasi pemuda di gereja Maya.
“Terpujilah nama Tuhan. “ puji pendeta Yongky sambil menengadah kelangit.
(Matius 17:20) Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya.
Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar
biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini
ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.
He said to them, Because of the littleness of your faith. For truly I say to
you, if you have faith like a grain of mustard seed, you can say to this
mountain, Move from here to yonder place, and it will move; and nothing will be
impossible to you.
LORD JESUS bless you and me, now and forever. Amen.
Kesaksian: Pendeta Yongky
sumber: BFC-Surabaya