Buat Apa Kekayaan Khadafi Yang Mencapai 800 Triliun Itu?



Kekayaan memang tidak selamanya menjamin hidup bahagia. Kekayaan tidak sepenuhnya adalah jaminan kebahagiaan. Tidak semua orang kaya bahagia. Tidak semua orang yang kaya raya juga bisa hidup tenang dan bahagia. Kekayaan dan kekuasaan mungkin adalah dua hal yang paling dicari dalam sejarah peradaban umat manusia di seluruh dunia. Tapi dua hal itu jugalah yang seringkali merusak dan menghancurkan peradaban manusia.
Kekayaan yang diperoleh dengan jalan yang keliru, dan juga tidak dimanfaatkan dengan benar akan berujung pada kesia-siaan. Seorang filsuf terkenal bernama Aristoteles pernah mengatakan bahwa setiap warga negara harus diperkenankan untuk memiliki harta dan kekayaan pribadi. Tapi yang dipersoalkan Aristoteles adalah dengan cara bagaimanakah kekayaan itu diperoleh? Apakah upaya untuk memperoleh kekayaan itu sesuatu yang alami atau tidak? Apakah upaya memperolehnya sesuai dengan kodrat atau tidak? Lalu pertanyaan selanjutnya kita munculkan, apakah kekayaan yang diperoleh sudah dimanfaatkan dengan sebaik mungkin?

Di dunia ini banyak sekali orang kaya. Orang kaya sudah berganti-ganti sepanjang sejarah umat manusia. Tapi faktanya juga adalah bahwa orang miskin masih sangat jauh lebih banyak dibanding mereka yang kaya. Dari sejak dulu manusia-manusia paling kaya di dunia sudah bermunculan. Lalu siapa manusia paling kaya yang pernah hidup dan kekayaannya tercatat? Mungkin ada yang bilang tentu saja Raja Salomo atau Raja Daud, tapi menurut beberapa catatan bahwa Rameses II, yang sekarang rangka dan patungnya menjadi tontonan di Museum Kairo dan pernah dipajang di iklan rokok, adalah pernah menjadi manusia terkaya yang dijuluki “miliuner sepuluh kali lipat.” Ford, Rockefeller, Croesus tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan “kegemilangan matahari terbenam dari dinasti kerajaan di Mesir” ini.

Firaun yang paling terkenal ini menaklukkan seluruh raja dari Nubia hingga Suriah dan mengambil upeti yang besar dari mereka. Ia mengeksploitasi tambang emas Nubia demi kantungnya atau orang Manado bilang popoji-nya sendiri selama kurun waktu 67 tahun.
Lalu siapa manusia berpendapatan terbanyak pertahun? Upah terbanyak yang pernah diterima oleh siapa pun adalah upah almarhum Franz Joseph I, seorang Kaisar Austria. Jumlahnya mencapai $4.412.000 atau 22.060.000 Kronen per tahunnya. Itu barulah upahnya, belum termasuk pendapatan-pendapatan dari sumber lain. Seumur hidupnya, Franz Josef berhasil menarik $274.600.000 dari negara Austria. Jumlah tersebut adalah lebih banyak 25 kali lipat daripada upah gabungan seluruh Presiden Amerika Serikat yang pernah ada.

Nah, kalau masa kini kira-kira siapakah orang paling kaya? Memang benar ada Carlos Slim, Bill Gates, dan Warren Buffet. Tapi pernahkah terpikir tentang seorang bernama Muammar Khadafi? Seseorang yang telah memunculkan ‘citra’ baru di negara yang dipimpinnya. Bahwa Khadafi adalah Libya, tapi Libya juga adalah Khadafi. Negara itu seakan-akan adalah miliknya. Tidak boleh ada seorang pun yang menentangnya atau berbicara tentang demokrasi di negaranya itu.

Seperti apa sesungguhnya kekayaan Khadafi ini? Memang ada banyak versi tentang kekayaan Khadafi. Mari kita lihat beberapa di antaranya. Koran Belanda De Volkskrant dengan Rp.729,4 triliun. Serta 40 Miliar USD atau sekitar Rp. 352,7 triliun kekayaan tersebut ada di bumi Libya.

Khadafi mempunyai sejumlah saham di Belanda, diantaranya adalah di perusahaan minyak Tamoil. Perusahaan ini memiliki 160 SPBU yang tersebar di kota-kota di negara Belanda. Tamoil meraih laba bersih 26 Juta Euro di tahun 2009 lalu.

The Guardian menyebutkan bahwa kekayaan Khadafi mencapai 61,8 Miliar Poundsterling atau setara dengan Rp.876,6 triliun dalam bentuk asset yang tersebar di seluruh dunia. Sementara WikiLeaks menulis bahwa Khadafi mengontrol asset likuid, artinya bisa dipergunakan kapan saja ia mau senilai 32 miliar USD (200-an triluan lebih). Khadafi itu luar biasa kaya. Hasil yang diperoleh selama menjadi diktator di Libya, dalam kurun waktu 42 tahun.
Tidak hanya itu, menurut catatan juga adalah bahwa khadafi ternyata memiliki saham di bank terbesar di Italy yaitu Unicredit. Ia juga punya saham di pabrik peralatan perang Finmeccanica. Masih belum cukup, keluarga Khadafi ternyata juga memiliki saham di salah satu klub sepakbola raksasa di Italy, Juventus. Cakarnya menggurita kemana-mana dan kekayaannya terus menumpuk.Bisa jadi, ia orang paling kaya di dunia ketika masih di tampuk kekuasaannya.

Pertanyaan yang kembali muncul, apa gunanya kekayaannya itu ketika ia sendiri akhirnya tidak merasakannya dan menikmatinya secara normal, wajar, dan langgeng? Ia yang begitu kaya akhirnya harus “menikmati” peperangan demi peperangan yang berupaya menggulingkan kekuasaannya. Ia kemudian kalah dan terusir. Di tengah-tengah kegemilangan kekayaannya yang menumpuk—bayangkan saja ratusan triliun!— tapi harus lari ke sana-sini demi menyelamatkan diri. Hidup di goa dan gorong-gorong bawah tanah supaya tidak tertangkap. 

Hidup seperti hewan tanah yang bersembunyi di lobang-lobang bawah tanah. Kebahagiaan apalagi yang mau dikecap kalau sudah begitu keadaannya? Merana di tengah harta yang melimpah. Kaya tapi miskin. Kaya harta miskin kebebasan. Tidak lagi ada freedom to live.Saya tidak ingin membahasnya dari segi politik, tapi dari sudut pandang yang lain. Bahwa ada pelajaran berharga bagi semua kita yang berprinsip menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya. Apalagi kalau itu diperoleh dengan jalan yang tidak benar. Ingatlah bahwa itu semua hanya sementara. Tidaklah kekal dan abadi.

Puncaknya adalah ia harus mati terbunuh. Kekayaannya tidak mungkin lagi ia bawa mati. Triliunan hartanya boleh saja membuat kuburannya menjadi yang termegah di dunia. Terbuat dari emas, intan, dan permata. Tapi semuanya sia-sia, ia tidak bisa lagi menikmatinya. Itu pun kalau harta melimpahnya tidak diambil alih oleh negara. Kita jadi kembali teringat apa yang dikatakan Aristoteles tentang bagaimanakah cara harta kekayaan itu diperoleh? Lalu kita bertanya apa yang sudah dilakukan dengan harta kekayaan yang diperoleh itu? Ketika Tuhan menitipkan kekayaan melimpah kepada kita, tentu IA juga meminta pertanggungjawaban kita atas titipannya itu. Yang pasti, kalau kekayaan itu diperoleh dengan jalan tidak benar, itu tentu bukan titipan Allah, tapi kita merampok, mencuri, mengorupsinya.
Benarkah ujar-ujar orang tua dulu bahwa semakin kaya maka semakin menderita?
Entahlah…
Michael Sendow.


sumber:forum.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar