Hidup Ini Memang Penuh Dengan Kemunafikan



Hidup ini memang penuh dengan kemunafikan. Janganlah berduka karena itu. Kenyataan yang kita hadapi, yang kita alami dan kita saksikan seringkali bukanlah kebenaran yang kita inginkan. Tetapi apakah kebenaran itu? Tidakkah kita sering, sadar maupun tidak, harus mengambil sikap untuk munafik? Pada saat kita ingin didengarkan, kita harus mendengarkan. Pada saat kita sedang sedih, kita harus tertawa. Pada saat kita ingin pergi, kita harus tinggal. Pada saat kita ingin menemani, kita meninggalkan.

Pengalaman-pengalaman hidup telah mengajarkan kita mengenai hal-hal tersebut: seringkali kita harus melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan kita sendiri. Tetapi haruskah kenyataan yang terjadi saat ini membuat kita gusar? Atau malah putus asa dan pasrah diri? Layakkah kita hanya mengeluh atas apa yang kita alami? Jika memang demikian yang kita lakukan maka betapa sianya hidup ini. Kenyataannya memang kita semua adalah manusia yang lemah. Dan hidup tidaklah mudah. Tetapi bagaimana pun kehidupan berlangsung terus, suka atau tidak, dan selama kita masih sanggup untuk berkelakar, menertawai diri dan kehidupan kita, kemanusiaan kita tetap eksis.

Memang banyak penderitaan yang kita saksikan atau kita alami sendiri tetapi “janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Mat. 6:34) demikian sabda Yesus kepada kita. Di tengah segala penderitaan hidup ini, kita mencari kebahagiaan bukan dengan merasa sedih karena keinginan kita tidak tercapai tetapi dengan melakukan hal yang dapat membahagiakan orang lain di sekeliling kita karena “Mereka cermin wajahku” (TS Eliott). Yah, dalam tawa orang lainlah kita akan menemukan kebahagiaan kita. Demikianlah jalannya kehidupan. Sering kita harus melakukan apa yang bertentangan dengan keinginan kita sendiri agar dapat membahagiakan orang lain. Dengan melihat orang lain tertawa, duka kita pun terlipur. Sebab itu, saat kita merasa gusar karena merasa tidak dipercayai, cobalah merenung, apakah kita telah melakukan hal-hal yang dapat membuat orang lain mempercayai kita? Jangan-jangan karena perbuatan kita sendiri maka orang-orang tidak dapat percaya kepada kita. Juga saat kita mengeluh mengenai segala hal yang bertentangan dengan keinginan kita, tidakkah sebenarnya kita ingin memaksakan keinginan kita sendiri terhadap orang lain? Juga saat kita mempersalahkan orang-orang lain, apakah bukannya kitalah sebenarnya yang terlalu bangga akan kemampuan kita dan karena itu buta terhadap kelemahan diri sendiri?

Hidup memang dipenuhi kemunafikan, jika kita ingin menamakan hal itu dengan kemunafikan, karena kita memang harus mengurbankan keinginan dan perasaan kita sendiri demi orang lain. Tetapi ingatlah ‘aturan emas’ dari Kristus sendiri: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7:12). Bagaimana pun, orang-orang adalah insan yang hidup. Yang memiliki perasaan dan cara berpikir yang belum tentu sama dengan kita. Dalam perjalanan dari Jogya ke Surabaya, di sampingku duduk seorang nenek. Kami terlibat dalam obrolan yang lama, walau kebanyakan saya hanya mendengarkan saja. Nenek itu bertutur mengenai banyak hal, riwayatnya, keluarga dan segala unek-uneknya mengenai masa kini. Tidak banyak saya menyimpan kenangan atas apa yang diceritakannya selain satu kata ini: “Semua karena keinginan. Saat keinginan kita buru, kita dikuasai hasrat. Saat keinginan kita miliki, kita dikuasai hak. Jadi kita tak pernah menjadi manusia bebas” Apakah kalimat dari nenek tersebut dapat bergema di hati kita semua? Saya harapkan demikian.

Begitulah, kita tidak dapat dengan bebas melakukan segala hal yang kita ingini karena dengan kebebasan itu nanti kita malah akan memenjarakan orang lain. Mungkin kita kadang harus berlaku munafik, tetapi bagiku itu bukanlah suatu kemunafikan. Melainkan pengurbanan yang kita lakukan demi sesuatu yang lebih besar. Demi kebersamaan kita sebagai saudara. Keinginan kita bukan keinginan Tuhan. Dia sendiri tak pernah memaksakan keinginanNya tetapi mengharapkan agar kita, sebagai manusia, mampu memilih apa yang baik dan apa yang tidak baik. Dalam proses keputusan itulah kita akan dinilai apakah kita layak menjadi umatNya atau tidak. “Jadilah kepadamu menurut imanmu” sabda Yesus saat mata dua orang buta dimelekanNya. Maka apakah mata kita akan melek atau tidak, semuanya terserah pada kita sendiri.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar