Ban Serep



Diana adalah wanita karier. Setiap hari hidupnya lekat dengan setir kemudi. Ia biasa menyetir sendiri mobil sedannya ke mana-mana. Suatu hari ban mobilnya bocor di jalan tol. Segera ia menelepon teman untuk minta bantuan. “Di mobilmu pasti ada ban serep,” seru temannya, “Tahukah kamu cara memasangnya?” Diana menjawab: “Jangankan memasangnya, di mana letak ban serep itu saja aku tidak tahu!” Ban serep memang jarang diperhatikan. Ia baru diingat dan dicari saat kondisi sedang darurat.


Sama halnya dengan doa. Orang sering memandang doa sebagai ban serep. Mereka tekun berdoa saat hidup sudah terasa tidak karuan. Begitu jalan hidup kembali lapang, doa pun menghilang. Sikap ini bertentangan dengan pandangan Rasul Paulus. Ia memandang doa sebagai “senjata Allah”. Doa harus terus dikenakan agar orang beriman dapat bertahan dalam godaan. Ia harus dinaikkan “setiap waktu” (ayat 18). Kata “waktu” di sini memakai istilah kairos yang berarti kesempatan. Jadi, berdoalah pada setiap kesempatan yang muncul. Berdoa setiap waktu bukan berarti 24 jam kita harus melipat tangan dan menutup mata, melainkan terus hidup dalam kontak batin dengan Tuhan. Menyadari kehadiran-Nya. Doa harus dijadikan setir kemudi. Sesuatu yang utama, penting, dan mengendalikan sepak terjang kita. Dengan hidup dalam suasana doa, Tuhan bisa memimpin kita berkata dan bertindak sesuai kehendak-Nya. Kita bisa terus sehati sepikir dengan-Nya (ayat 19,20).

Cobalah periksa kehidupan doa Anda akhir-akhir ini. Bagi Anda, apakah doa menjadi sekadar ban serep, atau menjadi setir kemudi yang mengendalikan arah hidup Anda?

BERDOALAH SETIAP WAKTU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar