TUHAN BUKANLAH FANTASI

Allah adalah pribadi riil, yang seharusnya kita alami secara riil. Tidak memiliki pengalaman dengan Tuhan, ibarat memiliki gudang beras tetapi tidak dapat makan nasi. Tidak mengalami Tuhan berarti sia-sia kita beragama (seperti pergi ke gereja apalagi turut mengambil bagian dalam pelayanan gerejani). Inilah yang terjadi atas banyak orang Kristen hari ini. Mereka kaya dengan pengalaman beragama, mengikuti berbagai kegiatan gerejani tetapi tidak mengalami Tuhan secara pribadi, riil dan berlimpah. Konyolnya, banyak orang yang puas dengan berbagai pengalaman keagamaan tersebut tetapi tidak mengalami Tuhan secara benar. Tidak sedikit pelayan-pelayan Tuhan dalam gereja sebagai komunitas pejabat Tuhan tidak gusar dengan keadaan ini. Gereja cukup puas dengan kesetiaan jemaatnya dalam bentuk berbagai dukungan jemaat tersebut terhadap organisasi gereja mereka, tetapi tidak sungguh menggumuli apakah setiap jemaat memiliki pengenalan dan pengalaman yang benar dengan Tuhan. Alkitab berkata: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!” (Mzm 34:9).
Pernyataan itu adalah panggilan untuk mengalami Tuhan secara riil. Kata “Kecap” dalam teks aslinya adalah taamauw dari akar kata taam yang artinya ‘rasakan’. Tuhan bukan hanya dibayangkan dalam fantasi, tetapi dialami secara kongkrit.

Terdapat fenomena yang salah dalam gereja, tetapi tidak disadari bahwa itu suatu kesalahan. Jika ada orang yang rajin ke gereja, maka kita menganggapnya sudah setia kepada Tuhan. Mereka dianggap berhak menerima ijazah yang berbunyi “telah memenuhi ukuran kesetiaan”. Biasanya gereja akan melibatkan orang-orang ini dalam ladang pekerjaan Tuhan. Mereka boleh memiliki ijazah dari gembala atau pemimpin jemaat tetapi sebenarnya belum lulus. Jika ada anggota gereja yang rela berkorban, khususnya berkorban uang, maka anggota gereja itu cenderung ditaruh di tempat terhormat dalam pelayanan. Padahal mereka belum mengenal dan mengalami Tuhan, jika hanya dapat memberi uang dalam jumlah besar di gereja belumlah ukuran layak di hadapan Tuhan. Mereka semua harus diajar kebenaran dan mengalami Tuhan secara pribadi, seperti bangsa Israel yang telah 40 tahun mengalami kuasa Tuhan begitu hebat, tetapi mereka tidak mengenal Allah dengan benar (Mzm 95:10)

Fenomena atau keadaan yang telah dijelaskan di atas, bias merupakan sebuah politik agama yang menyesatkan umat. Paulus dalam suratnya berkata dirinya adalah ‘mak comblang’, selain ia sendiri adalah mempelai Kristus (2Kor 11:2-3). Gereja dan pelayan-pelayannya adalah ‘mak comblang’, bukan tujuan kehidupan rohani dan pengembaraan iman jemaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar