REFLEKSI

Mengapa Abraham disebut sebagai tokoh iman yang patut kita teladani?


Abraham adalah pembina bangsa Ibrani. Pada mulanya ia bernama Abram dan tinggal di Ur-Kasdim (kini letaknya di daerah Irak Selatan) sekitar tahun 2000 SM. Pada suatu hari, dengan bimbingan Allah ia pindah ke arah barat laut menuju Haran, dan kemudian ke arah Barat Daya menuju Kanaan.

Menjelang masa tuanya, Abraham mendengar panggilan Allah. Allah membuat perjanjian dengan Abraham dan menjanjikan kepadanya seorang putra. Melalui putra perjanjian itu, yaitu Ishak, ia menjadi nenek moyang semua bangsa Yahudi. Kebesaran Abraham diringkas dalam surat Ibrani 11:8-19 dan surat Yakobus 2:21-23.

Dari kehidupan Abraham kita mendapat kesimpulan bahwa Abraham adalah tokoh iman yang patut kita teladani:

 1. Abraham beriman: Ia mendengar, menaati, mematuhi segala perintah Tuhan dan percaya akan firman Tuhan (Kej 15:6; Ibr 11:8). Dengan iman kita diselamatkan; dengan iman kita melayani Tuhan. "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah" (Ibrani 11:6).

2. Abraham beribadah. Ke mana saja Abraham pergi, ia selalu membangun mezbah. Melalui mezbah, ia mengucap syukur kepada Tuhan, berdoa serta mempersembahkan korban dan beribadah kepada Tuhan. Paulus menasihati kita agar senantiasa berdoa dan mengucap syukur dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Tuhan (1Tesalonika 5:17-18).
   
3. Abraham hidup sebagai musafir. Hal ini menunjukkan bahwa ia mengakui hidupnya di dalam dunia ini hanya sebagai musafir saja. Perjalanan hidupnya menuju ke negeri yang baka, kehidupan jasmaninya tidak kekal seperti kemah yang bisa rusak, tetapi kehidupan rohani itu kekal adanya (2 Kor 4:16; 5:1-2).
   
4.  Abaraham suka damai: Ia tidak suka bertengkar, tidak suka membantah dan rela mengalah (Kej 13:5-9). "berusahalah hidup damai dengan semua orang " (Ibrani 12:14). Tuhan menjanjikan: "Berbahagialah orang yang membuat damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (2 Kor 4:16, 5:1-2).
  
 5.  Abraham tidak egoistis: Ia selalu memikirkan kepentingan orang lain (Kej. 13:9) dan rela membantu kesukaran orang lain (Kej 14:14-16). Demikian juga nasihat rasul Paulus: "Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga" (Filip 2:4).
   
 6. Abraham memberi persepuluhan: Ia memberi persepuluhan kepada Melkisedek yang melambangkan Tuhan Yesus (Kej 14:20; Ibr 7:1-28). Tuhan berjanji akan memberkati orang yang memberi persepuluhannya kepada Tuhan (Maleakhi 3:10). Dalam hal memberi persembahan, hendaklah kita memberi menurut kerelaan hati, jangan dengan sedih atau karena terpaksa, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.
     
Masih banyak ciri khas kehidupan Abraham yang boleh menjadi teladan kita, tetapi apa yang telah diuraikan di atas, cukup menjadi pedoman kita untuk hidup sebagai orang Kristen yang diperkenankan Tuhan. ***
                                                                                                                                   
       





BELAJAR KEPADA SEMUT
(Amsal 6:6-8; Amsal 30:25)

"Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak; biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.
Semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas."

Semut disinggung dalam Firman Tuhan, bukan saja untuk diperhatikan tetapi agar dipelajari tingkah-laku mereka. Semut adalah binatang kecil termasuk bangsa serangga yang hidup dalam suatu komunitas keluarga yang baik dan rajin.
Menemukan semut? Itu mudah sekali! Semut selalu terlihat dimana-mana, baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Bila kita duduk di lantai maupun di rerumputan sambil menikmati makanan kecil yang manis dan beraroma, maka tanpa diundang semutpun akan datang berkerumun sekitar kita. Semut yang senantiasa hilir-mudik itu akan mencium remah-remah tersebut, membawa atau memakannya.

Mereka adalah mahluk kecil yang sangat rumit, hidup dalam suatu masyarakat yang serba teratur dan memiliki sifat yang rajin. Untuk mencari makan, ia harus berjalan jauh. Dan ketika menemukan makanan, ia mengajak mereka untuk beramai-ramai mengangkat makanan itu. Semut tidak pernah hidup menyendiri seperti serangga lainnya. Mereka hidup dalam kebersamaan dan memiliki naluri sosial yang tinggi.

Semut juga adalah serangga yang cerdik. Cara hidup mereka yang bergotong-royong demikian mengagumkan, cara membangun tempat kediaman dan mencari makanan sekaligus menyimpannya demikian pintar. Padahal jelas semut tidak memiliki akal seperti manusia, tidak dapat belajar atau berpikir. Semut hanya memiliki dua perasa (antena) yang bengkok panjang melekat di atas kepalanya. Antena adalah alat peraba utama semut. Umumnya semut yang hidup dalam koloni memiliki penglihatan yang sangat buruk, karena itu dalam menemukan jalannya mereka mengandalkan naluri penciuman-nya.

1.  Semut melaksanakan tugas pekerjaannya dengan rajin

Perhatikanlah prilaku mereka. Di dalam maupun di luar ruangan, mereka tidak pernah bersantai-santai, pasif atau hanya berdiam diri. Mereka selalu bergerak seakan tidak mengenal lelah.
Setiap kali cuaca mendung, semut-semut itu selalu keluar dari sarangnya, banyak sekali jumlahnya. Mereka beramai-ramai mencari makanan dan membawanya ke sarangnya. Mereka terus bekerja dengan giat.
Mungkin saja kita memiliki semangat yang menyala-nyala, namun sifat kedagingan kita lemah. Sehingga apa yang ingin kita lakukan tidak jadi dilaksanakan. Apa yang ingin di capai tidak jadi dilakukan. Intinya, sifat kedaginganlah yang membuat kita menjadi malas! Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, suatu saat kita akan menjadi orang yang pesimistik, pasif dan penuh keragu-raguan.
Segala hal yang menghalangi ibadah kita kepada Tuhan harus di tanggalkan, termasuk kemalasan.
"Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan." (Roma 12:11).
"Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Kor. 15:58).

2.  Kebersamaan dan saling mengasihi

Semut adalah serangga kecil yang memiliki naluri sosial yang tinggi. Mereka hidup bersama-sama dalam suatu komunitas yang besar. Bilamana mereka menemukan sesuatu yang dapat di makan, mereka akan makan bersama-sama dan sebagian lagi mereka bawa ke koloninya. Semut pekerja lainnya akan datang menjemput mereka di lorong sarang, menggosokan sungut mereka yang peka pada semut yang baru pulang itu agar makanan yang dibawanya bisa dikumpulkan. Selanjutnya makanan-makanan itu dibawa dalam kubangan kecil untuk nantinya di makan secara bersama-sama.
Gereja mula-mula telah menjadi contoh atau teladan yang indah, karena kebersamaan para rasul dan pengikut Kristus yang saling kasih mengasihi secara tulus dan murni, sehingga persekutuan mereka bertambah erat dan menghasilkan penambahan jiwa-jiwa baru.
"Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa .....Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu........... Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam bait Allah. ........ Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." (Kisah Para Rasul 2:42-47).

Sebagai umat pilihan Tuhan, sikap kebersamaan dalam persekutuan melalui saling mengasihi haruslah menjadi yang utama dan transparan. Karena kasih tidak pudar oleh waktu dan merupakan cermin keberadaan Allah.
Di dalam Tuhan, orang yang terpanggil dan terpilih menjadi pengikut Kristus adalah keluarga Allah dan saudara kita. Karena itu, jangan biarkan terjadi sekat-sekat pemisah diantara sesama umatNya, karena sorga tidak mengenal merk gereja, denominasi gereja atau simbol-simbol karya manusia. Allah hanya mengenal umatnya yang memiliki meterai Anak Domba Allah yaitu mereka yang telah di tebus oleh darahNya di Kalvari
Kebersamaan dan saling mengasihi, menyiratkan betapa kita dituntut untuk lebih peka terhadap sesama kita. Yang kuat harus menopang yang lemah, yang berkelebihan membantu yang berkekurangan. Rongga yang terbuka harus di tutup rapat -rapat bukan semakin di lebarkan. Dengan demikian karakter Kristus nampak dalam kehidupan umatNya.
Semut tidak memilah-milah atau membeda-bedakan diantara sesamanya. Semua mendapat bagian dan giliran yang sama. Tidak iri satu dengan yang lainnya dan mereka menyelesaikan tugas masing-masing dengan teratur bahkan bergotong-royong
Bagaimanakah dengan hidup kita yang jauh lebih istimewa dari semut?

3. Disiplin

Kehidupan semut di dalam sarangnya merupakan tugas yang rutin dan tak pernah dilanggar, dan masing-masing semut memiliki tugas tertentu yang menunjang keberhasilan seluruh koloni. Sebagian tugas itu berat sebagian lagi mudah. Semut pekerja membangun sarang untuk  memberi tempat bagi semut-semut lainnya yang berjumlah besar. Membangun sarang merupakan pekerjaan yang memerlukan kedisiplinan. Para semut pekerja saling bantu untuk membuat terowongan yang diperlukan, menghubungkan ruang penyimpanan makanan dengan kamar-kamar perawatan larva-larva, agar selalu tersedia cadangan pangan yang melimpah untuk semut-semut generasi selanjutnya.
Tidaklah mudah menjadi seorang Kristen sejati, yang berpadanan dengan kehendak Tuhan dan 'menjadi sama seperti Kristus'. Kedisiplinan tinggi sangat diperlukan sebagai penunjang kontrol diri.
Melakukan kedisiplinan memerlukan pengorbanan dan penyangkalan diri yang konsisten. Tanpa semua itu kegagalan demi kegagalan dalam mewujudkan kehendak Allah dalam hidup kita pasti  terjadi.
Memang, untuk menjadi orang yang memiliki disiplin tinggi tidak terjadi begitu saja, diperlukan kemauan, keberanian dan semangat juang yang baik.
Untuk mencapai sasaran pendisiplinan diri, kita bisa memulainya terlebih dahulu dengan hal-hal kecil, misalnya: Datang ke gereja tepat waktu, berdoa sebelum dan sesudah tidur, berdoa sebelum berangkat ke kantor, membaca Alkitab, mengatur keuangan dengan baik dan menghindari kalimat-kalimat 'bohong' ketika terlibat dalam percakapan, dll.
Karena ibadah yang sesungguhnya bukan saja mempersembahkan jiwa, roh kita untuk dipakai memuliakan Tuhan, melainkan tubuh kita juga.
Kejatuhan manusia dalam dosa diakibatkan oleh lemahnya kehendak tubuh ini, karena  tubuh manusia berada digaris depan yang bersentuhan langsung dengan 'kenikmatan semu dunia ini' akan mempengaruhi jiwa sehingga menuruti kehendaknya.
"Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging - karena keduanya bertentangan sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:17).
Padahal untuk melaksanakan ibadah yang benar, keinginan Roh itu harus dominan terhadap keinginan daging. Keinginan daging itu harus dikendalikan menjadi alat untuk memuliakan Tuhan. Dengan demikian terjadilah proses menuju ibadah yang sejati.
"Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1).

4. Cerdik dan berani.

Ada pepatah yang mengatakan "Semut pun jika terus menerus di usik suatu saat pasti melawan". pernah digigit semut? Tentu saja pernah, bukan? Bandingkan perbedaan semut dan manusia. Sekalipun semut itu binatang yang sangat kecil tetapi memiliki keberanian terhadap yang jauh lebih besar dari postur tubuhnya.
Dan kecerdikan semut teruji ketika langkahnya terhenti dikarenakan jalan yang dilaluinya menjadi buntu. Ia tidak putus asa, melainkan berusaha mencari jalan lain agar perjalanannya tidak terganggu.
Sebagai umat Tuhan, keberadaan kita digambarkan seperti sekawanan domba di antara srigala yang buas. Hidup kekristenan kita selalu terancam karena iblis yang digambarkan seperti singa yang mengaum sedang mencari kesempatan untuk dapat melulur anak-anak Tuhan (I Petrus 5:8).
Untuk mensikapi keadaan tersebut kita di tuntut supaya berlaku cerdik dan berani, sekalipun resikonya adalah 'penderitaan'. Tetapi ingat, menderita di dalam Tuhan merupakan karunia! " .....Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah." (1 Petrus 2:20).
Permasalahan yang kita hadapi seharusnya tidak menjadikan kita orang yang mudah putus asa, melainkan menjadikan kita lebih dewasa di dalam Tuhan. Kita harus mensikapi permasalahan yang datang dengan kecerdikan, ketulusan dan keberanian di dalamTuhan. Berfikirlah secara positif sebab tidak semua persoalan merupakan 'musibah' dalam hidup kita. Sebagai anak-anak Tuhan apa yang kita alami merupakan bagian dalam rencanaNya. Masalah bisa kita jadikan proses pembelajaran agar kita menjadi lebih tahu akan kehendakNya, masalah yang kita hadapi bisa juga merupakan proses pendewasaan agar kita lebih tahan uji selanjutnya  masalah juga merupakan proses pemurnian iman.
Tetapi yang paling penting, kita harus memiliki keberanian untuk menghadapi setiap persoalan. Jangan lari dari masalah; itu tidak akan menyelesaikannya. Tetapi marilah kita hadapi setiap pergumulan hidup ini dan jadilah pemenang! Di dalam Tuhan kita lebih dari seorang pemenang (Roma 8:37).

5.  Menilai Tanda

Semut-semut tidak memiliki alat-alat meteorogi, tetapi dapat menentukan kapan hujan akan datang.  Memang semut tidak sepintar manusia, tetapi semut selalu mensikapi tanda. Kalau bumi dirasa semakin panas; mereka tahu bahwa sebentar lagi pasti hujan. Karena itu, begitu bumi dirasakan menyengat, mereka semua keluar mencari makanan dan membawanya ke sarang mereka. Menyimpan semua makanan untuk konsumsi persediaan selama musim hujan.
"Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini?" (Lukas 12:56).
Apa yang telah terjadi dan sedang terjadi di dunia akhir-akhir ini merupakan tanda yang jelas bahwa nubuat dalam Alkitab telah, sedang dan akan digenapi.
Bencana-bencana alam, peperangan-peperangan, kemerosotan moral manusia, kasih yang semakin menurun, penganiayaan-penganiayaan terhadap umat Tuhan, dll. menyiratkan tanda-tanda akhir zaman perlu kita waspadai dan cermati.
Menilai zaman bukan berarti menafsirkan apalagi meramal zaman. Menilai zaman adalah mempelajari tanda-tanda zaman yang sedang berlangsung di dunia ini dan menghubungkannya dengan nubuat-nubuat dalam Alkitab. Hal ini sangat penting agar kita selalu berjaga-jaga, waspada, tekun berdoa dan tetap setia memelihara iman di dalam Kristus. Amin.

Oleh : Simon Gunawan 




RATU YANG TERBUANG
Ester 1:1-22

Raja Persia, Ahasyweros (485-465) putera Darius I dengan kebesarannya menguasai 127 daerah (propinsi) mulai dari India hingga Ethiopia (Afrika).
Diceritakan, setelah 3 tahun pemerintahannya ia mengadakan perjamuan; tepatnya pameran kekayaan dan kekuasaan secara besar-besaran selama 180 hari plus 7 hari.
Namun yang menarik untuk direnungkan adalah, cara hidup istri Ahasyweros yang disebut 'Ratu Wasti'.
Siapakah Wasti?
Tidak diceritakan asal-usulnya. Yang jelas ia berparas cantik dan sangat disayang raja Ahasyweros. Karier perjalanan hidupnya berakhir setelah ia dibuang dan posisinya digantikan ratu Ester.
Tentu ada alasan yang masuk akal mengapa sang ratu yang berparas nan elok mesti dibuang.
Lho kok dibuang? Emangnya barang rongsokan yang mesti dibuang? Barangkali pakaian bekas ratu yang dibuang? Oh tidak! Alkitab jelas memaparkan bahwa yang dibuang  seutuhnya sang ratu itu sendiri.

I.  Menolak perintah untuk menghadap raja Ahasyweros  (Ester 1:11-12).

Ratu Wasti menolak atau menentang titah raja untuk menghadap sehingga raja Ahasyweros menjadi marah.
Keinginan raja Ahasyweros itu sebenarnya simpel saja. Raja bangga karena memiliki permaisuri berparas cantik dan ingin memperlihatkan sekaligus memperkenalkan sang ratu kepada para tamu undangan yang terdiri dari para pembesar-pembesar dan tamu-tamu VIP lainnya.
Bila menghadap raja, ratu Wasti disarankan mengenakan mahkota kerajaan yang merupakan indentitas diri yang sah seorang ratu. Sayang seribu kali sayang permintaan yang tidak sulit itu ditolak sang ratu.
Kemungkinan besar Wasti menolak permintaan raja. Karena, Wasti sibuk dengan urusannya sendiri menemani para perempuan dalam perjamuan terpisah (Ayat 9). Wasti mengabaikan dan menganggap sepele titah raja. Penolakkannya berakibat raja Ahasyweros dipermalukan.
Maksud baik belum tentu disikapi secara baik pula. Yunus menolak ketika disuruh pergi ke kota Niniwe, padahal permintaan Tuhan sederhana saja dan tidak diluar konteks tugas pokok seorang nabi, yaitu menjadi penyambung lidah Allah atau memberitakan Firman Allah sebagai pesan isi hati Allah., tetapi Yunus menafsirkan keinginan Allah dengan kesimpulan dan keputusannya sendiri. Akibatnya, ia mengalami hukuman dan terbuang ke perut ikan paus.
Raja Saul pun demikian. Karena ia berinisiatif sendiri dan mengambil alih tugas Samuel, dengan cara melaksanakan korban bakaran yang bukan bagiannya. Ia di tegor Samuel dan keputusan fatal terjadi atasnya.
"Kata Samuel kepada Saul: "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; sebab sedianya Tuhan mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. ....." (1 Samuel 13:13-14a).
Bagaimanakah dengan hidup umat Tuhan dimasa kini? Bukankah Tuhan Yesus adalah Raja di atas segala raja yang berkeinginan sama agar kita memuliakanNya, menghormatiNya dan menghadapNya setiap saat. Bukan karena maksud lain; melainkan agar kita selalu berada di hadiratNya. Hal tersebut dapat dilakukan jika kita rajin berdoa, beribadah dan berbakti kepadaNya. Tapi sayang, acapkali karena kesibukan dengan urusan sendiri beberapa umat Tuhan justru melalaikan kehendakNya tersebut.
Ketika menghadap Raja di atas segala raja; Tuhan berkehendak agar kita juga mengenakan jati diri yang sah yaitu mahkota, karena kita adalah anakNya, calon mempelaiNya, sahabatNya dan  bagian dari keluarga kerajaanNya, yaitu keluarga Allah. Maksudnya ketika menghadap hadiratNya kita harus menanggalkan tabiat lama kita dan mengenakan mahkota kekudusan dan kemuliaan sebagai citra diri bahwa benar kita adalah bagian keluarga kerajan Allah.

2.  Bersalah kepada raja dan orang lain  (Ester 1:16).

Perbuatan Wasti dikategorikan telah menghina dan mencoreng wajah raja Ahasyweros. Menurut pendapat ke tujuh pembesar Persia dan Media bahwa perbuatan sang ratu bisa berdampak luas, bukan saja dapat mempengaruhi para pembesar di seantero negeri melainkan juga para istri akan mengikuti jejaknya untuk tidak patuh dan hormat terhadap suaminya masig-masing. Dengan kata lain menjadi batu sandungan atau contoh yang tidak baik bagi lingkungan di dalam maupun seputar daerah kekuasaan Persia dan Media.
Wasti di vonis bersalah! Hukumannya: Wasti dikucilkan dari istana dan dilarang mengahadap atau bertemu raja Ahasyweros.
Itulah konsekwensi istri seorang raja yang melanggar aturan kerajaan. Setiap langkah dan tindakannya menjadi sorotan publik, tindakan salah sekecil apapun berdampak luas dan fatal baik bagi dirinya maupun orang lain.
Perumpamaan Alkitab mengenai 10 anak dara (Matius 25:1-13). 5 anak dara yang bijaksana menyediakan minyak sebagai cadangan agar pelitanya tetap bernyala. Ketika mempelai pria datang mereka disambut hangat dan masuk dalam pesta perjamuan pernikahan. Sedangkan 5 anak dara yang bodoh lalai membawa minyak cadangan dan membiarkan pelitanya hampir padam. Mereka terpaksa keluar untuk membeli minyak. Ketika kembali, pintu pesta perjamuan telah ditutup, dan terdengar suara dari dalam "sesungguhnya aku tidak mengenal kamu".
Lima anak dara yang 'bodoh' secara tidak langsung telah melalaikan tanggungjawab dan kepercayaan yang diberikan mempelai pria, akibatnya mereka di tolak untuk masuk dalam pesta perjamuan nikah.
Sebagai umat Tuhan yang baik, Tuhan menuntut agar hidup kita berpadanan dengan Kristus; yang artinya keteladanan Kristus harus jadi contoh; baik kasihNya, kekudusanNya maupun prilakuNya yang rendah hati dan selalu mengutamakan kehendak BapaNya di sorga.
Umat Tuhan seharusnya menjadi 'saksi', baik di dalam maupun di luar. Bukan saja perkataannya, prilakunya, maupun hidupnya. Jika menyimpang, akan menjadi 'batu sandungan' bagi orang lain dan ujung-ujungnya nama Tuhan tidak dipermuliakan.
Lebih baik di 'tolak. manusia daripada di 'tolak' oleh Tuhan dan lebih baik 'dibuang' manusia daripada di 'buang' Tuhan yang adalah Raja kita.

Marilah kita mengoreksi diri kita masing-masing apakah hidup kita masih di dalam koridorNya ataukah telah jauh dari kehendakNya. Belum terlambat untuk diperbaiki. Amin. ***

Simon Gunawan                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar