Emmanuel, 36, warga Mentawai tak henti-hentinya mengucap syukur. Nelayan Siberut ini tak menyangka, tumor gondok di lehernya bisa hilang. Sudah 10 tahun lamanya, warga miskin ini tersiksa menyandang tumor gondok seberat 1 kg di leher. Adalah seorang bule Meksiko, Cisco Velasco, 25, yang menyelamatkan hidupnya. Bagaimana kisahnya?
Kisah ini berawal saat Cisco yang sedang liburan (holiday) main surfing di Siberut, Mentawai, pertengahan Mei lalu. Saat itu, tanpa disengaja, petugas ambulans di salah satu RS Meksiko ini bertemu Emmanuel. Cisco pun merasa iba. Seumur-umur di Meksiko, ia belum pernah melihat warga Meksiko, sakit gondok yang besar seperti Emmanuel.
Rela meninggalkan liburannya sejenak, Cisco mengajak Emmanuel ke Padang untuk berobat. Dalam hati kecilnya, Cisco ingin menyelamatkan hidup Emmanuel. Transportasi Emmanuel ditanggung Cisco seluruhnya, dari Mentawai ke Padang.
Di RSUP M Djamil Padang, Cisco mengajak Emmanuel ke ruang Onkologi Tumor. Di sana, mereka diterima dokter ahli bedah, dr Tuti Lestari SpB. Hasil pemeriksaan, Emmanuel benar mengidap tumor gondok. Kelenjar gondoknya sudah membesar, bahkan sudah sudah sampai ke rongga dada. Jalan satu-satunya, mesti operasi. Emmanuel pun tercengang. Kedua bola matanya nanar. Kepalanya tertunduk lesu.
Emmanuel berkata, ia tak punya uang untuk operasi. Jangankan untuk operasi, biaya transportasi pulang-pergi (PP) Mentawai-Padang saja, ia tak punya.
Beruntung, Cisco mau menolongnya, kata Emmanuel dalam hati.
“Saya sudah hilang harapan. Sejak awal, saya sudah pasrah membiarkan penyakit ini, karena tidak ada biaya untuk berobat, apalagi harus ke Padang untuk operasi,” ujar Emmanuel.
Mendengar itu, jantung Emmanuel berdegup kencang. Cisco menepuk pundaknya. “Tenang saja, saya akan menanggung seluruh biaya ini,” terang pria lajang Meksiko ini. “He is my friend, and a friend can do everything. And also I really care about human life. (Dia adalah teman saya. Dan seorang teman bisa melakukan apa saja. Saya sangat peduli dengan kehidupannya,” kenang Emmanuel.
Setelah pemeriksaan berulang-ulang (untuk persiapan operasi), akhirnya jadwal operasi pun ditetapkan, Kamis (23/6). Selama pemeriksaan berulang-ulang itu pulalah, Cisco dan Emmanuel harus bolak-balik Mentawai-Padang. Cisco benar-benar bertanggung jawab, ia rela menambah jadwal holiday-nya, khusus untuk membantu kesembuhan Emmanuel hingga tuntas.
“Saya tahu, tumor itu sangat menyiksa Emmanuel. Saya bisa merasakannya. Saya berpikir, sesama manusia di dunia, saat ini dan dalam kondisi ini, saya harus menjadi bagian dari daerah Mentawai. Keinginan saya cuma satu, bagaimana Emmanuel bisa sembuh, bisa kembali normal menjalani kehidupannya. Saya ingin, Emmanuel kembali ceria,” tutur Cisco ketika itu.
Operasi sendiri akan dipimpin langsung Prof Azamris, SpB (Onk), dokter (senior) spesialis bedah tumor RSUP M Djamil. Kelenjar gondok yang telah membesar, bahkan sampai ke rongga dada, menuntut kehati-hatian ekstra untuk operasi. “Benar, operasi gondok inilah yang paling ditakutkan pasien. Lehernya disayat, risikonya bisa hilang pita suara,” kata Prof Azamris kepada Padang Ekspres, kemarin.
Selama operasi berlangsung, Cisco dengan setia menemani Emmanuel di luar kamar operasi. Ia pun tak kalah cemas dengan Emmanuel. Tiga jam lamanya, operasi pun selesai. Tak lama kemudian, Prof Azamris pun keluar. “Operasinya sukses,” kata tamatan spesialis bedah tumor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu.
Cisco pun segera memeluk Prof Azamris, dan berkali-berkali mengucap “Thank you..thank you..thank you”. Azamris pun terharu pula dibuatnya. Usai operasi, Cisco bergegas mengurus kamar perawatan untuk Emmanuel. Tak tanggung-tanggung, Cisco memberikan kamar VIP Ambun Pagi, Dahlia untuk Emmanuel.
Usai operasi dan mengurus kamar, Cisco tak langsung pulang. Ia pun menemani Emmanuel yang menjalani rawat inap selama enam hari di kamar Ambun Pagi. Selama enam hari itu pulalah, Cisco juga tidur di sana. “Kasihan dia, jika saya tidur di tempat lain. Siapa yang akan bantu dia nanti,” ulas Cisco.
Selasa (28/6), Emmanuel pun diperbolehkan pulang oleh Prof Azamris. “Tak apa-apa. Pita suaranya juga tak terganggu,” kata dokter empat anak itu kepada Emmanuel. Cisco pun segera mengurus seluruh biaya rumah sakit. Setelah itu, Cisco mengantar Emmanuel ke kampung halamannya, Siberut.
Tanggung jawab Cisco tak sampai di sana. Dua hari kemudian, usai mengantar pulang ke Mentawai, Cisco membawa Emmanuel kembali untuk mengecek kondisi lehernya, pascaoperasi ke tempat praktik Prof Azamris di Jalan H Agus Salim No 3, depan kantor PDAM Padang. Hasil pemeriksaan ulang, Prof Azamris mengatakan baik-baik saja. Emmanuel lalu pulang ke Bumi Sikerei bersama Cisco.
Air mata Emmanuel pecah, saat Cisco pamit untuk pulang ke negaranya, akhir pekan lalu. Emmanuel seakan tak sanggup untuk bicara. Mulutnya bergetar hebat, pekik tangisnya bertambah keras. Berkali-kali Cisco menepuk pundak sahabatnya itu. Emmanuel pun dengan ikhlas melepas kepergian Cisco.
Cinta dan kemanusiaan tidaklah memandang suku bangsa. Cisco, bule Meksiko ini membuktikannya. Segala biaya pengobatan, transportasi dan lainnya, dia yang tanggung. Sebuah ketulusan hati yang sangat menggugah dari seseorang yang berasal dari belahan dunia lain, tidak kerabat, tidak seagama, tidak sebangsa, tapi bisa begitu peduli dengan penderitaan orang lain, terutama masyarakat dengan ekonomi lemah. (***)